BEBERAPA KELOMPOK MASYARAKAT YANG MENDIAMI PULAU BALI BERDASARKAN KURUN WAKTU KEDATANGANNYA I. Masyarakat Bali Mula Masyarakat Turunan yang akhirnya menjadi Tarunyan yang sekarang dikenal dengan masyarakat Terunyan dan sekitarnya. II. Masyarakat Bali Aga Mayarakat pengikut Maha Rsi Markandeya yang berasal dari Desa Aga di lereng Gunung Raung Jawa Timur yang di Bali memperkenalkan sistim sawah tadah hujan yang disebut padi gaga masyarakanya kemudian dikenal dengan Masyarakat Bali Aga. III. Masyarakat Bali Kuna Adalah masyarakat keturunan Sri Ksari Warmadewa beserta pengikut-pengikutnya. IV. Masyarakat Warga Pasek seperti Maha Gotra Pasek Sanak Pitu yang menurunkan Warga Pasek, Bandesa dan Dukuh 1. Maha Gotra Pasek Kayu Selem menurukan Warga Pasek Bali 2. Maha Gotra Pande Mpu Gandring Sakti menurunkan Warga Pande V. Masyarakat Majapahit dari Pulau Jawa 1. Ksatrya Sidemen menurunkan Warga Arya Bang Sidemen 2. Ksatrya Dhalem 3. Arya Damar 4. Arya Kutawaringin VI. Masyarakat yang merupakan keturunan Dang Hyang Nirartha 1. Brahmana ZAMAN SETELAH MAJAPAHIT MENGUASAI BALI Putera keempat dari Danghyang Soma Kepakisan atau Mpu Soma Kepakisan di Jawa yang dijuluki Dalem Ketut bergelar abhiseka Ratu Sri Kresna Kepakisan, karena pusat pemerintahan di Samprangan beliau juga dikenal dengan Dalem Samprangan memerintah Bali sebagai Adipati Majapahit tahun 1350-1380 Masehi. PANUGRAHAN “SRI KRESNA KEPAKISAN” KEPADA 1. KI PASEK GELGEL Sabda Dalem “Wahai saudara Pasek Gelgel anugerahku berlaku untuk sterusnya bagi keturunanmu, keturunan saudara bebas dari kewajiban tetegenan, bebas aturan pejah manjing, bebas dari hukuman mati. Bila saudara atau keturunan saudara melakukan kesalahan atau melanggar Undang-Undang sekali, dua kali, tiga kali harus diampuni, bila harus dihukum mati diganti dengan hukuman diusir, demikian anugerahku. Pada kesempatan tersebut juga dianugerahkan “ Dalam pelaksanakan upacara Pitra Yadnya atiwa-tiwa seketurunanmu boleh memakai wadah metumpang bade, tidak dibenarkan memakai tumpang, saya mengambil tumpangnya. Selain tumpang boleh dipakai, seperti Bhoma bersayap dimuka dan dibelakang, kapas sembilan warna, meuncal, mekekitir, mepetulangan Singha, tempat pembakaran mayat bertumpang tiga, mebale lunjuk. Hal ini berlaku apabila pelaksanaan atiwa-tiwa di lingkungan istana, bila di luar istana sesuaikan dengan amanat dari Mpu Ketek”. 2. KI PATIH ULUNG Sri Kresna Kepakisan bersabda kepada putera Mpu Dwidjaksara yang bernama Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung “berhubung leluhur Ki Patih Ulung dahulu di tugaskan ke Bali dari Majapahit guna mengatur dan memimpin rakyat Bali pada setiap tempat, namun hingga kini gagal dengan alasan belum adanya Adipati. Akhirnya Majapahit menobatkan saya Sri Kresna Kepakisan sebagai Adipati Majapahit di Bali, oleh karena itu bukannya saya menurunkan derajat saudara namun saudara sendirilah yang menurunkan derajat diri saudara, dahulu saudara adalah Brahmana Wangsa kini menjadi Vaisya Wangsa”. Sejak saat ini pula keturunan Sang Sapta Rsi yang tadinya bergelar Pangeran, I Gusti, Kyayi dan sebagainya tidak boleh lagi menggunakan gelar tersebut dan yang dibolehkan adalah Ki Pasek dan Ki Bandesa”. Latar belakang keluarnya sabda Dalem tersebut adalah karena tahun 1267 Mpu Dwijaksara leluhur dari Jiwaksara yang bergelar Ki Patih Ulung diutus ke Bali oleh Gajah Mada dari Majapahit dengan tujuan untuk mengatur rakyat Bali guna membangun kembali Kahyangan-kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga. Namun kenyataannya baru berhasil merenovasi bekas Parhyangan Mpu Ghana di Gelgel sebatas bebaturan saja sehingga Pura tersebut disebut Pura Batur Penganggih. Yang kemudian digunakan sebagai tempat pemujaan keturunan Warga Pasek Sapta Rsi. Selain merenovasi bekas Parhyangan sekte Ghanapati, Mpu Dwijaksara juga merenovasi sebuah taman yang disebut Taman Bagendra di Gelgel. PURA DASAR BHWANA GELGEL SEBAGAI PEMUJAAN TRI WARGA Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Smara Kepakisan dan karena pusat pemerintahan di Gelgel beliau juga dikenal dengan Dalem Gelgel yang pertama. Dalam masa pemerintahan Sri Smara Kepakisan 1380-1460 masehi beliau membangun tempat pemujaan Tri Warga di Pura Batur Penganggih yaitu Warga Pasek, Warga Satrya Dalem dan Warga Pande. Dan status Pura Batur Penganggih ditingkatkan menjadi Pura Kahyangan Jagat yang dinamakan Pura Dasar Bwana Gelgel. SRI SMARA KEPAKISAN DALAM RANGKA MENARIK SIMPATI RAKYAT BALI Guna menarik simpati rakyat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna, Sri Smara Kepakisan Putra keempat Sri Kresna Kepakisan menyatakan/menetapkan 1. Pura Dasar Bhwana Gelgel sebagai Pura Pusat Kerajaan seperti Pura Pusering Jagat di zaman Kerajaan Bedulu. 2. Pura Besakih sebagai Pura Kerajaan untuk Seluruh Bali. 3. Mengangkat tokoh-tokoh masyarakan Bali sebelum Majapahit seperti Ki Pasek Gelgel, Lurah Kapandean dari golongan Pande sebagai pejabat Kerajaan. Keturunan Ki Ularan sebagai Tumenggung atau Panglima Perang. 4. Kesenian Jawa Hindu sangat berkembang dan mendesak kesenian Bali sebelumnya. 5. Dalam tata cara pemujaan muncul Parhyangan-Parhyangan atau Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan berdasarkan corak Majapahit namun mendapat pengaruh kepercayaan tentang arwah leluhur masyarakat Bali sebelumnya seperti masyarakat Bali Mula, Bali Aga dan Bali Kuna. Pura-Pura yang dijunjung kesungsung oleh satu keluarga/keturunan/klan guna menghormati arwah leluhur inilah akhirnya dikenal dengan nama PURA KAWITAN. 6. Pura sesungsungan arwah leluhur satu keluarga tersebut adalah merupakan Siwa Lingga, kemudian oleh Dalem diberikan panugerahan seperti Aji Purana Prasasti dan Piagem rikalaning atatiwa mepitra yadnya guna melengkapinya. 7. Untuk mencari dukungan lebih besar Sri Smara Kepakisan pada tanggal 4 Maret 1430 melaksanakan Upacara Sradha besar-besaran di bukit Penulisan guna untuk menghormati wafatnya Raja Bedulu yang bergelar Abhiseka Ratu Sri Astha Sura Ratna Bhumi Banten. KELENGKAPAN KAWITAN SEBAGAI SIWA LINGGA Dalam perjalanan waktu sistem pemujaan arwah leluhur yang kemudian dikenal dengan nama Pura Kawitan terus mengalami penyempurnaan. Seperti dimuat dalam “Prasasti Panamaskaraning para Arya sakyeng Jawi ikang tumedun maring Bali angiring Sira Dalem Chili” drwen Puri Smarapura Smarawijaya Klungkung. Persyaratan suatu wangsa ditandai dengan adanya Tri Sinunggal. Jajaran Pelinggih-Pelinggih Pura Kawitan merupakan Siwa Lingga, Siwa Lingga bermakna tempat melinggastanakan Ida Betahara Siwa, Ida Bethara Siwa dalam hal keleluhuran adalah Sang Hyang Siwa Guru Kemulan dan pengembangannya, Siwa Guru bermakna Guru Rupaka. Yang wajib kesungsung sembah di Pura Kawitan adalah Tri Sinunggal yaitu Aji Purana Prasasti, dimana untuk dapat dikatakan cerdas/lengkap pascat bila dilengkapi Aksara Kepatian bila digunakan oleh keturunannya bernama Surat Kajang serta ada Piagem ketika melaksanakan Pitra Yadnya rikalning atatiwa. Karena Kawitan merupakan asal mula dari suatu Wangsa Apan Kawitan ngaran Wangsa. SISTIM CATUR WANGSA KONSEP DANGHYANG NIRARTHA Tahun isaka 1411/1489M Danghyang Nirartha tiba di Bali ketika pemerintahan Dalem Waturenggong yang berpusat di Gelgel. Dalem Waturenggong memerintah Bali dari tahun isaka 1382/1460M – tahun isaka 1472/1550M, beliau adalah Dalem Gelgel yang ke dua. Danghyang Nirartha yang di lingkungan masyarakyat Bali dikenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rawuh, namun dikalangan pemerintahan dikenal dengan sebutan Danghyang Dwijendra. Semenjak zaman Danghyang Nirartha sebagai Baghawanta Dhalem Gelgel diberlakukanlah Sistim Catur Wangsa yang pada hakekatnya berdasarkan keturunan atau kelahiran semata-mata. Sistim Catur Wangsa ini semakin lama semakin diperkuat dengan peraturan Pemerintah/Undang-Undang yang dibuat oleh Penguasa demi langgengnya kedudukan/kekuasaan mereka. Danghyang Nirartha ke Bali bersama 7 tujuh putera-puteranya dari 3tiga kali pernikahan, putera-putera Danghyang Nirartha dengan isteri asal Kediri disebut Kamenuh, dari isteri asal Kaniten Pasuruan disebut Manuaba, dari isteri asal Belambangan disebut Kaniten. Di Bali Danghyang Nirartha menikah lagi 2dua kali, dengan adiknya Pangeran Bandesa Mas puteranya disebut Mas dan dengan pembantunya panjroan Bandesa Mas disebut Handapan yang kemudian lebih dikenal dengan Antapan. Putera-putera Danghyang Nirartha inilah diberi gelar Brahmana, kemudian keluarga yang memerintah keluarga Raja disebut Ksatrya dan yang ketiga disebut Weisya. Ketiga golongan tersebut akhirnya mengkultuskan diri yang disebut TRI WANGSA. Kemudian berkembang ada istilah Jro dan Jaba, mereka yang tidak mempunyai jabatan dalam Pemerintahan atau orang-orang di luar Bali Rajya di luar Puri disebut ANAK JABA. Jadi ANAK JABA disini tidak sama dengan SUDRA dalam Sistim Warna di India, oleh karena itu janganlah menyebut diri anak sudra. Dengan demikian maka dari sinilah munculnya istilah CATUR WANGSA yaitu 1. Wangsa Brahmana 2. Wangsa Ksatrya 3. Wangsa Wesya 4. Di luar Tri Wangsa disebut Anak Jaba atau Wangsa Jaba yang bermakna Wangsa di luar yang terlibat dalam pemerintahan. Jadi antara Tri Wangsa dan Jaba hanyalah pembedaan dalam fungsi dan tugas kewajiban kepada negara atau kerajaan. PANUGRAHAN DALEM WATURENGGONG KEPADA KETURUNAN KI PASEK GELGEL Setelah Dalem Waturenggong berhasil menumpas pemberontakan Kyayi Batan Jeruk sekitar tahun isaka 1478/1556M berkat jasa-jasanya Dalem Waturenggong memanggil keturunan Ki Pasek Gelgel seperti Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, Ki Gaduh, Ki Ngukuhin, Ki Kubayan, Ki Salahin. Termasuk juga keluarga Pasek Gelgel yang lainnya yang tersebar di seluruh Bali, agar segera menghadap Dalem. Dengan disaksikan oleh para Arya. Berkat panugrahan tersebut maka 1. Ki Bandesa Tangkas Kori Agung, keturunannya kemudian dikenal dengan Wangsa Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung. 2. Ki Gaduh, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Gaduh. 3. Ki Ngukuhin, keturunannya keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Ngukuhin. 4. Ki Kubayan, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Pasek Kubayan. 5. Ki Salahin, keturunannya kemudian dikenal dengan sebutan Wangsa Pasek Salahin Demikian semua keluarga Ki Pasek Gelgel diberikan gelar kepahlawanan yang disebut dengan Kewangsaan atau Wangsa. Sabda Dalem kepada keluarga Pasek “Hai Pasek sekalian, sampaikan kepada keluarga Pasek semua bahwa saudara-saudara ini sangat cinta dan bakti kepadaku, seperti halnya leluhurmu yang menyebabkan saya dan para leluhurku tetap menjadi Dalem di Bali”. Dengan ini saya memberikan panugreahan Amanat “Bahwa saudara-saudara tidak boleh dijatuhi hukuman mati, harta benda saudara tidak boleh dirampas oleh Dalem, tidak boleh dipermainkan. Jika berbuat kesalahan yang semestinya dihukum mati diganti dengan hukuman pembuangan selama satu bulan dan seterusnya”. Dalam hal atiwa-tiwa Pitra Yadnya mayat harus dibungkus daun pisang kaikik, bagi yang sudah menjadi Pandita usungan mayat diperbolehkan menggunakan Padma, petulangannya lembu putih. Yang masih welaka boleh mebade tumpang pitu petulangannya lembu cemeng dan seterusnya. IDENTITAS TERKAIT WANGSA CELUK SESUAI AJI PURANA PRASASTI Sebagai Çiwa Lingga bagi Wangsa Celuk yang jajaran Pelinggih-Pelinggihnya sesuai dengan yang tersurat dalam 5 Cakep Lontar Babad Celuk dipugar, direnovasi dan dilengkapi menjadi ekadasa lingga oleh I Gusti Mangku Rat keturunan I Gusti Celuk generasi kesepuluh/undag kaping 10. Lokasinya di sebelah utara Pura Purusada Loring Pura Purusada di tempat mana roh suci Ida Bethara Kawitan dilinggastanakan pada zaman Ki Gusti Tangkeban generasi ketiga/undag kaping 3. Aji Purana Prasasti bagi Wangsa Celuk di muka bhumi ring jana loka merupakan panugerahan dari Dhalem Pemayun Raden Pangarsa yang juga dikenal dengan Dhalem Bekung beliau adalah putera dari Dhalem Waturenggong. Kajang Kawitan atau Kajang Kulit adalah bagian yang tak terpisahkan dari Aji Purana Prasasti. Bagi Wangsa Celuk Kajang Kawitan yang dimiliki merupakan penugerahan dari Hyang Prama Kawi kepada Ki Gusti Putu Rasa di pantai Tulamben Tianyar. Beginilah sebagai tanda keutamaan yang disebut dengan Çiwa Lingga wujudnya/ditulis dalam aksara kepatian. Bhisama Ki Gusti Putu Rasa kepada keturunan Wangsa Celuk Trah Arya Kepakisan, janganlah membicarakan penugerahan ini jika bukan pada tempatnya hingga kelak dikemudian hari. Ki Gusti Putu Rasa adalah keturunan I Gusti Celuk Ida Bethara Kawitan generasi ke sepuluh/undag kaping 10. Surat Kajang Kawitan terdiri dari lima lembar yaitu Ulon, Aksara Kepatian, Recadana, Krebsari Rurug dan Kalasa. Piagem yang merupakan panugerahan Dhalem Pemayun kepada Wangsa Celuk ketika pratisantana Wangsa Celuk melaksanakan acara Atatiwa/Atiwa-tiwa/Pitra Yadnya. Isi panugerahan dalam Piagem secara singkat demikian “Rikalaning atatiwa turunaira Ki Gusti Celuk trah Arya Kepakisan wenang mebade tumpang pitu, mepetulangan Singha atawa Gajahmina, medamar kurung, metumpang salu…..” dan seterusnya. KESIMPULAN Kawitan Wangsa atau Kawitan suatu wangsa/soroh/klan adalah suatu gelar panugerahan Dhalem atau Raja yang diberikan kepada seseorang dari suatu keluarga atau keturunannya berkat jasa-jasa yang dilakukan oleh leluhurnya terhadap penguasa pada zaman kerajaan Bali. Yang distanakan di Pura Kawitan adalah Ida Bethara Kawitan yang merupakan Kawitan/asal mula dari Wangsa tersebut. Sementara yang distanakan di Pura Pedharman atau Pelinggih Pedharman adalah Leluhur tertentu termasuk Ida Betahara Kawitan yang mempunyai jasa luar biasa menurut penilaian pemberi penugrahan. Sumber pustaka Salinan berbagai lontar koleksi Gedong Kertya Singaraja Kliping Koran Denpost 11 Nopember 2002 halaman 8 rubrik Babag oleh Jro Mangku Gde Ktut Soebandi Salinan Prasasti druwen Puri Smarapura Smara Wijaya Klungkung “Panamaskaraning Para Arya saking Jawi tumekeng Bali kang angiring Dhalem Chili”. Bali dalam Lintasan waktu Sejarah Politik Bali dari abad 10 sampai dengan pendudukan Kolonial Belanda oleh I Md Dwi Putra Sanjaya, MIB 8 April 2003. ONG…_/\_
GedongKawitan: g) eD*ÿ¾ k wi t n/ , 7: Rambut Sedana: r m®¡ t¾Š) d n, 8: Sesuhunan: s) su hu n n/ , 9: Buat Nama Aksara Bali (baru) Request Tulisan Aksara Bali (baru) Aksara Bali di Android. Aksara Bali di PC/Laptop. Stiker WA Aksara Bali. Uger-uger Aksara Bali. Kamus Bali-Indonesia.
Om Swastiastu, Banyak orang bingung mencari Kawitan karena pada zaman Bali Kuna belum ada pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Stelah kalahnya Bali pemerintahan dipegang oleh Dalem Baturenggong dengan dibantu Danghyang Nirarta yg diberi gelar Pedanda sakti Wawu Rauh baru ada pemujaan Kawitan. Jadi orang2 Bali Mula yg sudah ada di Bali sebelum masuknya Dh Nirarta menjadi bingung untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum masuknya Dh Nirarrta. Pertanyaannya, dimanakah kawitan dan padharmanya para raja dan para ksatria Bali Kuna itu? Sehingga banyak masyarakat Bali Mula contoh Kubayan, Dukuh, Karang Buncing, Tangkas, Bandesa, dimasukkan ke soroh Pasek, padahal Kubayan itu adalah jabatan rohaniawan desa Bali Kuna sebelum masuknya Hindu ke Bali. Dukuh adalah turunan raja2 Bali Kuno yg diberi gelar kependetaan oleh Danghyang Nirartta yg diberi julukan Pedanda Sakti Wawurawuh. Banyak sekali kontroversi mengenai sejarah Bali ini yang perlu diluruskan. Catur Lawa Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan itu bukan soroh atau kelompok warga. Catur Lawa itu adalah 4 kelompok tugas yang membantu kelancaran jalannya upacara yang ada di Pr Penataran Besakih. Dukuh yang mempunyai tugas bagian simbol suci Tuhan atau yang “muput” upakara, Penyarikan mempunyai tugas bagian administrasi, Pande dan Pasek mempunyai tugas membuat sarana dan prasarana lainnya misalnya, membuat tempat pemiosan, menatah logam, dan kerangka lainnya. Jadi dimanakah Kawitan dan Pedharmar masyarakat Bali Mula itu ?? Memuja Tuhan Melalui Pura Kawitan Stana Leluhur Yang Disucikan, Media Terdekat Antara Manusia Dengan Tuhan/ Hyang Widhi Pendiskreditan Kerajaan Badhahulu yang tertulis selama ini menjadi Beda Hulu berselisih dengan pusat/Majapahit dan Beda Muka raja berkepala babi oleh para penekun sastra dan para sejarawan, membawa dampak kebingungan bagi generasi muda Hindu yang ada di Bali, dalam meng-AJeg-kan agama dan budaya Hindu dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam di awal abad ke 16. Dengan menyatunya Hindu Majapahit dengan Hindu Bali yang dimediasi oleh Danghyang Nirartta kemudian diberi gelar Peranda Sakti Wawu Rauh adalah suatu keuntungan untuk memperkokoh kembali agama dan budaya Hindu yang pernah berjaya di bumi Nusantara ini pada awal tarikh masehi. Dalam kitab Nagara Kretagama oleh Slamet Mulyana, pupuh nomor 14 dan 79, Negara Kertagama oleh Megandaru W. Kawuryan 2006184, serta salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata, Griya Tegeh Budakeling, dialih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, halaman 12, secara jelas tertulis Badhahulu. Tapi para alih aksara dan penterjemah lain, sengaja mengganti huruf ”a” awal diganti dengan huruf ”e”, sehingga menimbulkan beda arti dari para pembaca Riana, 2009100,377. Kalau boleh diuraikan kata per kata dalam kalimat. Kata Badhahulu berasal dari bahasa Jawa-Kuno, dari urat kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, rumah, istana. Hulu artinya kepala, raja, pusat pemerintahan. Jadi Badhahulu adalah istana raja, pusat pemerintahan, namanya kerajaan Badhahulu dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten Asta=delapan, Sura=dewa, Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung, Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai kepala/pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu. Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Bali Dwipa, Mandala Wisata Samuan Tiga, Blahbatuh, Gianyar, serta Usana Bali, secara tegas menyebutkan bahwa pusat kraton raja patih Sri Jaya Katong, Raja Masula-Masuli sampai Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten terletak di daerah Batahanar istana baru yang diduga kemudian menjadi nama Kabupaten Gianyar. Di Batahanar sekarang tempat ini berdiri sebuah pura dengan nama Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu, Gianyar. Orang-orang dari Jawa menyebut Badhahulu kemungkinan beliau tidak tahu nama desa tempat kerajaan Astasura Ratna Bumi Banten, Raja akhir Bali Kuno pada saat itu. Dalam prasasti-prasasti Bali Kuno tidak ditemukan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dengan maha patih kerajaan bergelar Kebo Iwa berselisih paham Bedahulu dengan kerajaan Majapahit dengan maha patih kerajaan bergelar Gajah Mada. Secara akal sehat, seandainya memang kerajaan Badhahulu berselisih paham dengan kerajaan Majapahit, mungkinkah Kebo Iwa mau datang ke Jawa? Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, secara administratif Senapati mahapatih kerajaan Batahanar pada era itu adalah Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi. Skema silsilah Sri Karang Buncing, Sri Kbo Iwa misan mindon dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten berasal dari turunan Sri Maha Sidhimantradewa. Sri Kbo Iwa tapeng dada kerajaan Batahanar yang mewilayahi Blahbatuh, desa paling dekat dengan pusat pemerintahan, disamping di bantu oleh para senapati Bali lainnya. Dalam pamancangah dari Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala perangkap oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung …. Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajahmada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Masa transisi pemerintahan dari kerajaan Bhadahulu ke kerajaan Majapahit, dari tahun 1343 sampai tahun 1352 masih terjadi pemberontakan atau dengan kata lain orang-orang Bali Kuno masih melakukan perlawanan. Selama sembilan tahun masa transisi pemerintahan terjadi 30 kali pembrontakan yang menyebar di Pulau Bali. Untuk menengahi atau mengisi kekosongan pemerintahan selama belum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan, maka diangkatlah seseorang dan diberi anugrah jabatan Kyayi Agung Pasek Gelgel. Yang menjadi pertanyaan, siapakah Kyayi Agung Pasek Gelgel? Mungkinkah beliau berasal dari Jawa untuk menengahi perselisihan antara Bali dan Majapahit? Dalam Kamus Jawa-Kuno oleh Zoetmulder 1995786, kata Pasek berarti, pemberian, anugrah, hadiah. Seandainya Kyayi Agung Pasek Gelgel itu berasal dari Jawa semestinya beliau disebut Arya. Karena beliau berperan penting menjadi pemimpin di dalam menengahi konflik transisi pemerintahan akhir Bali Kuno. Setelah datangnya Danghyang Nirartta, sebutan Arya dikenal menjadi Gusti dan berubah sebutan setelah datangnya penjajahan Belanda. Dengan adanya konsep pemujaan Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga banyak orang-orang Bali-Mula masuk dalam satu garis keturunan Warga Pasek, misalnya kubahyan, tangkas, bendesa, karang buncing dan warga Bali Mula lainnya. Warga Bali Mula yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru disebut arya misalnya, Sri Giri Ularan putra dari Sri Rigis menjadi mahapatih senapati di kerajaan Dalem Baturenggong menjadi Arya Ularan Gusti Ularan, Keturunan Sri Karang Buncing menjadi Arya Karang Buncing, Gusti Karang Buncing. Sri Rigis menjadi Arya Rigis, Sri Pasung Giri menjadi Arya Pasung Giri, Si Tunjung Tutur menjadi Arya Tunjung Tutur, Si Tunjung Biru menjadi Arya Tunjung Biru. Pertanyaan lainnya, apa interelasi spiritual antara Gotra Pasek Kyayi Agung Pasek Gelgel dengan Catur Lawa yaitu 4 empat kelompok tugas yang bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih yaitu Dukuh, Pasek, Pande, Penyarikan, mungkinkah beliau-beliau ini keturunan Bali Kuno. Pada era itu sistem pemerintahan ditentukan oleh fungsi bakat dan pekerjaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh klen, kasta. Dimana persiapan upacara dan upakara akan dilakukan ditempat di pura mana akan diadakan pujawali, ada bagian yang mengurus tentang surat menyurat, bagian perlengkapan upakara, bagian yang berwenang tentang simbol suci Tuhan atau pendeta yang memimpin upacara dan bagian lainnya. Pasek dalam hal ini bukanlah sebuah treh, soroh, gotra, wangsa, klen kelompok warga. Pasek adalah sebuah istilah, jabatan atau bagian yang bertugas membantu mensukseskan jalannya upakara dan upacara yang ada di Pura Penataran Besakih. Pura Pande menata segala peralatannya yang terbuat dari benda logam dan rangka peralatan lain. Pura Penyarikan bertugas menata segala kebutuhan tata usaha administrasi agar segala sesuatu berjalan dengan teratur Gobyah, I Ketut. Bali Post 30 April 2008. Dalam satu kelompok seksi/tugas tentu anggotanya terdiri dari beberapa orang yang bisa saja berasal dari kelompok warga lain. Istilah Dukuh berasal dari turunan Dukuh Gamongan dari Desa Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, yang melahirkan para Dukuh yang ada di jagat Bali. Kemudian ditegaskan kembali oleh Danghyang Nirarta adalah suatu anugrah gelar Dukuh pendeta yang diberikan untuk warga Bali-Mula dan Bali Kuno, walaupun dari keturunan wangsa apa pun mereka. Dukuh adalah sebuah jabatan yang bertugas sebagai pemimpin upacara keagamaan di Pura Besakih. Jadi pendeta Dukuh yang memimpin upacara dan upakara di Bali pada era itu, sebelum datangnya para Brahmana Majapahit dari Jawa. Pada zaman Gelgel datang ke Bali dua pendeta Siwa dan Buddha dari Majapahit ialah Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka memperkuat hubungan Majapahit dan Bali. Pada waktu itu didirikan pedharman Raja/Dalem Samprangan dan Dalem Gelgel berupa meru-meru terletak di belakang Pura Catur Lawa. Tentunya pendirian pedharman-pedharman itu juga melalui nyadnya craddha. Dr. Martha A. Muuses mengidentifikasikan yadnya craddha dengan upacara mamukur di Bali yaitu upacara mengembalikan atma ke unsur asalnya yakni Paratma. Dengan demikian Pura Catur Lawa merupakan kumpulan orang-orang Bali Mula yang mendapat tugas sebagai cikal bakal untuk ngamong bertanggung jawab terhadap kelancaran upacara di Pura Penataran Besakih, simbol stana suci ida bhatara gunung Agung/Tolangkir. Pura Besakih merupakan lambang satu kesatuan antara Hindu Bali dan Hindu Majapahit. Setelah kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit, terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali saat kini, yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan ada sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada saat itu. Berikut komparasi antara, yaitu adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali. Dalam Usana Jawa menyebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya, jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Juga adanya tonggak piodalan yang satu mengikuti sasih bulan dan yang satu lagi mengikuti wuku minggu. Acara pamelastian yang satu mengikuti sasih ka sanga bulan ke 9 dan satu lagi mengikuti sasih ka dasa bulan ke 10. Disamping hari penyepian di sawah, di segara, di tegalan, di pura, terdapat perbedaan sesuai dengan dresta desa, kala, patra setempat. Juga dalam acara resi yadnya padiksan dalam pengesahan seorang pendeta, yang satu mengikuti melalui napak wakul bhatara kawitan, dan satu lagi mengikuti napak kaki guru nabe. Semenjak itu juga perlahan-lahan terjadi penataan pemerintahan yang baru, baik dalam bidang agama, sosial, politik, ekonomi, maupun kesusastraan, dan lainnya dalam menyatukan paham Bali Kuno dengan paham Majapahit. Yang dulunya seorang pendeta mewakili sekte/agama yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan mana pun beliau, misalnya; dang acharya sebutan pendeta sekte Siwa, dang upadhyaya gelar pendeta untuk sekte Budha, Rsi Bhujangga gelar pendeta sekte Waisnawa, Pitamaha gelar pendeta sekte Brahma, Bhagawan gelar pendeta sekte Bhairawa, dan sebagainya. Sekarang masing-masing kelompok warga diberikan gelar pendeta dan identitas sosial lain dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya Dukuh gelar pendeta bagi warga Bali Kuno, Ida Pedanda gelar pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu gelar pendeta bagi warga Pasek, Rsi Bhagawan gelar pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bujangga gelar pendeta bagi warga Sengguhu, Sira Mpu gelar pendeta bagi warga Pande, dan seterusnya, lengkap dengan aturan atiwa-tiwa/pitra yadnya dan atribut lainnya. Pertanyaannya adalah mengikuti paham manakah pendeta para gotra kelompok warga itu, apakah mengikuti paham Siwa, Boddha, Waisnawa, Bhairawa, Sora, Sakta, Sambu, Rsi atau yang lain? Para Arya Majapahit yang telah berjasa didalam menaklukkan rakyat Bali, lalu dicandikan di suatu tempat untuk memuja roh leluhur yang telah suci yang ada di Jawa sebagai penghayatan atau media terdekat dengan leluhur disebut Pura Kawitan stana suci para leluhur. Dalam Kamus Bali-Indonesia Tim 801 menyebutkan kata Kawitan artinya leluhur, asal mula warga, wangsa, treh, gotra. Dengan munculnya konsep penataan pemujaan melalui Bhatara Hyang Kawitan sehingga membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak para leluhur mereka yang sudah ada sebelum datangnya sang konseptor Danghyang Nirartta dari Jawa. Para Raja dan Ksatria Bali kuno, dan jabatan pemerintah bawahan seperti; para senapati, para pendeta, samgat, caksu, kubayan, Si Tunjung Biru, Si Kalung Singkal, Ki Tambyak, Ki Tunjung Tutur, Ki Kopang, Ki Bwahan, Si Pangeran Tangkas, Ki Pasung Grigis, dan leluhur masyarakat Bali Aga dan Bali Mula yang lain, pada saat kini dimanakah Pura Kawitan beliau-beliau itu? Dan dimanakah Padharman beliau-beliau itu? Dengan adanya reformasi pemerintahan oleh Raja Dalem Baturenggong dengan dibantu pendeta kerajaan Danghyang Nirartta mempunyai konsep yang sangat cemerlang sekali menyatukan warga agar tidak tercerai berai beralih ke agama/sekte/paham lain. Yaitu dengan konsep memuja Tuhan melalui Bhatara Hyang Kawitan. Sesuai dengan sloka Taittiriya Upanisad menyebutkan “Seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah dewa, dan para tamu pun adalah dewa”. Dengan demikian secara empiris, keturunanya akan memuja Tuhan lewat’ roh suci bapak dan ibu, kakek nenek, leluhur dan seterusnya, yang pada akhirnya akan sampai juga pada Beliau/Tuhan. Para leluhur hanya sebatas menyaksikan dan mengantarkan’ doa, maksud, dan tujuan kepada Tuhan atau kepada dewa yang mesti disampaikan oleh para leluhur kita. Para leluhur adalah asal muasal kita sebagai manusia. Semenjak masih janin dalam kandungan Ibu, kita sudah terhubung dengan-Nya ibu yaitu melalui tali pusar ari-ari. Tali pusar media penghubung kehidupan dalam kandungan antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari mungkin’ ari-ari tali pusar ini disimbolkan menjadi selempot senteng, karena selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya Selain sebagai pengikat panca budhiindria dan panca karmenindria, simbol mengekang sepuluh lobang yang ada dalam tubuh pada saat seseorang berkehendak melakukan puja dan puji terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Walaupun seseorang memakai celana panjang jika sudah memakai senteng/selempot akan diijinkan masuk ke pura. Senteng/selempot hanyalah sebuah simbol dan atau sebuah peraturan. Bukankah sebuah simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan seseorang harus memiliki KTP, Passport, dan identitas lain sebagai simbol pengganti dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya. Demikian juga dengan senteng selempot yang mengandung makna sebagai penghubung ke para leluhur warga, dan para leluhur akan mem-bahasa-kan doa, maksud, dan upacara umat kepada Tuhan/Hyang Widhi. Sesungguhnya kita tidak tahu bahasa apa yang dipakai oleh para dewa dalam berkomunikasi antara dewa dan dewa itu sendiri. …. kira2 demikian sejarah munculnya konsep pemujaan KAWITAN di jagat Bali ini …Tabanan - Bertepatan dengan rahina Sukra Umanis Warigadean, Jumat, (22/10), warga Merajan Kawitan Kabayan Banjar Belumbang Kaja, Desa Belumbang, Kerambitan, Tabanan, melaksanakan upacara Bhuta Yadnya Pecaruan Ngenteg Linggih dan Mupuk Pedagingan di Merajan Kawitan Kabayan Belumbang. ArticlePDF Available AbstractThis writing aimed at identifying forms, meanings, and social factors that cause the differences of kinship address in Balinese language. The data in the form of sentences that contain kinship addresses were collected by applying interview and observation methods. The data were collected from Balinese speakers, literatures, and author’s intuition as a Balinese speaker. The data were analyzed via distributional method with dividing-key-factors and substitution techniques, and referential identity method. The results showed that kinship addresses are in the forms of words and the forms are varied. The meaning of the kinship addresses was based on kinship which can be differed according to lineage and marital linkage. There are addresses denoted to diverse kin, various addresses attribute to a specific kin, and an address that only attributes to a certain kin. Each of kinship addresses have distinction based on various factors, formality, kinship types, age, marital status, sex, and social status. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by I Gede Bagus Wisnu Bayu Temaja on Jan 28, 2019 Content may be subject to copyright. i geDe Bagus Wisnu Bayu temaja sapaan kekeraBatan ...211SAPAAN KEKERABATAN DALAM BAHASA BALIKINSHIP ADDRESSES IN BALINESE LANGUAGEI Gede Bagus Wisnu Bayu TemajaIlmu Linguistik, Universitas Gadjah MadaJalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281Telepon 0274 513096, Faksimile 0274 550451Pos-el wisnubt naskah masuk 17 Juli 2018Tanggal revisi akhir 27 Desember 2018Abstract Keywords Abstrak penyebab perbedaan sapaan kekerabatan dalam bahasa Bali. Data berupa kalimat yang mengandung sapaan kekerabatan dikumpulkan dengan menerapkan metode cakap dan simak. Data diperoleh dari penutur bahasa Bali, pustaka-pustaka bahasa Bali, dan intuisi penulis sebagai penutur bahasa Bali. Data dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik bagi unsur langsung dan ganti, dan metode padan referensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan bentuk lingualnya, sapaan kekerabatan berupa kata dan memiliki variasi bentuk. Makna sapaan mengacu pada referen berupa kerabat yang dibedakan atas kekerabatan yang diperoleh dari garis keturunan dan perkawinan. Terdapat sebuah sapaan yang mengacu pada banyak referen kerabat, ragam sapaan untuk satu referen kerabat, dan sebuah sapaan untuk satu referen kerabat. Masing-masing sapaan kekerabatan memiliki perbedaan didasarkan atas faktor keformalan, jenis kekerabatan, umur, status pernikahan, jenis kelamin, dan status kunci sapaan, kekerabatan, bentuk, makna, faktor 212Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018211–220 1. PendahuluanInteraksi terjadi ketika adanya komunikasi baik melalui cara lisan maupun tulis yang dapat berlangsung secara langsung ataupun tidak langsung dan melibatkan pelaku tutur. Ketika terjadi interaksi antara pelaku tutur, salah satu komponen yang menjadi bagian dari interaksi adalah adanya proses saling menyapa. Adapun pelaku tutur tersebut yaitu pembicara, lawan bicara, dan isi pembicaraan Wibowo dan suatu interaksi melibatkan satu aspek penting yaitu penyapaan. Penyapaan dalam interaksi dilaksanakan menggunakan kata sapaan. sapaan merujuk pada morfem, kata, atau frasa yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan antarpelaku tutur. Pelaku tutur yang dimaksud adalah penutur atau pembicara dan lawan tutur. Saat penutur menyapa lawan tutur, penutur menggunakan sapaan bergantung pada hubungannya dengan lawan tutur. Sapaan dapat dibedakan menjadi sapaan pronomina persona, kekerabatan, nama, pekerjaan, keakraban, dan keagamaan Wijana, 199135. Berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sapaan kekerabatan, dalam menyapa salah satu anggota kekerabatan, sapaannya cenderung beragam dan dalam tiap bahasa berbeda-beda. Misalnya saat seseorang menyapa ayahnya, bahasa Inggris mengenal sapaan father dan daddy, sedangkan bahasa Indonesia mengenal bentuk ayah dan papa. Kedua sapaan termasuk ke dalam sapaan kekerabatan karena pelaku tutur memiliki hubungan kekerabatan, yaitu antara anak sebagai penutur dan ayah sebagai lawan tutur. Dalam bahasa Bali BB bahasa Austronesia; sebagian besar dituturkan di Bali, Indonesia; tiga juta lebih penutur, sapaan untuk ayah dapat berupa dan nanang. Jika dibandingkan dengan sapaan bahasa Indonesia dan Inggris yang hanya memiliki dua bentuk sapaan untuk ayah, berbeda halnya BB yang memiliki empat bentuk. Adanya empat bentuk sapaan, seperti untuk ayah, menjadi salah satu bukti adanya sapaan kekerabatan dalam BB. Selain itu, beragamnya bentuk sapaan untuk acuan sebuah referen seperti ayah menjadi keunikan bahwa hal ini penting untuk ini khusus membicarakan sapaan kekerabatan yang dipergunakan dalam BB. Kajian sapaan kekerabatan BB penting dilaksanakan mengingat penyapaan tiap kerabat memiliki beragam bentuk lingual, seperti penyapaan ayah’ memiliki empat variasi bentuk lingual, dan sapaan kekerabatan lainnya yang diasumsikan memiliki bentuk sapaan yang juga bervariasi. Variasi tersebut muncul dipengaruhi oleh beragam faktor sosial. Sapaan kekerabatan berhubungan dengan kekerabatan sebagai realisasi dari sapaan jenis tersebut. Kekerabatan di Bali dibedakan menjadi kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan garis pernikahan. Kekerabatan berdasarkan garis keturunan disebut sistem patrilineal atau garis keturunan dari ayah, dan di Bali dikenal dengan istilah purusa Asmarajaya, 2017. Di sisi lain, kekerabatan berdasarkan garis perkawinan ada di pihak kekerabatan BB memiliki berbagai bentuk seperti dalam menyapa satu referen kerabat, misalnya, sapaan untuk ayah’. Beragamnya bentuk sapaan untuk ayah bukannya tanpa alasan mengingat keragamannya muncul karena faktor sosial Saleh, 201721. Faktor sosial yang dimaksud adalah faktor-faktor di luar kebahasaan seperti status sosial, umur, jenis, dan kelamin. Status sosial menjadi salah satu faktor yang menyebabkan beragamnya sapaan kekerabatan ada di Bali. Status sosial direalisasikan dalam bentuk sistem kasta, misalnya sapaan dipergunakan oleh golongan kasta Brahmana. Ketika seorang anak menggunakan untuk menyapa ayahnya dalam kasta Brahmana, hal tersebut menjadi ciri khas kasta. Ciri khas itu kemudian melahirkan kelompok tutur tersendiri di dalam kekerabatan berlandaskan kasta. Kasta menjadi realisasi dari kelompok tutur yang menyebabkan mereka menggunakan bentuk yang sama seperti sapaan mengacu pada bentuk dan makna atau referen kerabat yang diacu, sapaan kekerabatan BB juga memiliki perbedaan yang didasarkan atas faktor ini dilaksanakan dengan penelitian ini mengkaji bentuk lingual, makna kerabat yang diacu, dan faktor sosial yang i geDe Bagus Wisnu Bayu temaja sapaan kekeraBatan ...213memengaruhi perbedaan penggunaan sapaan terkait pernah dilaksanakan oleh Wijana 1991 yang mengkaji penggunaan sapaan dalam bahasa Indonesia. Ia menemukan realisasi sapaan dapat berupa pronomina persona, kekerabatan, nama, pekerjaan, keakraban, dan keagamaan. Dalam BB, Kamajaya 2014 mengkaji sapaan berupa pronomina persona. Penelitian itu mengupas struktur semantik dari sapaan pronomina. Mengingat realisasi sapaan lainnya belum dikupas dalam BB sehingga penelitian ini berupaya melengkapi pemetaan sapaan dalam BB, dimulai pada sapaan kekerabatan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yaitu sapaan kekerabatan, Sari, Ermanto, dan pemakaian sapaan kekerabatan dalam bahasa Melayu di Riau. Kajian Sari dkk. 2013 dapat menjadi ancangan di dalam mengkaji sapaan kekerabatan pada tiga kajian di atas, penelitian sapaan kekerabatan dilaksanakan mengingat objek ini belum mendapat perhatian dalam kajian sapaan BB sehingga pelaksanaan penelitian ini dapat melengkapi pemetaan bentuk sapaan dalam pada terlaksananya pendokumentasian dan pelestarian kearifan lokal yang direalisasikan dalam bentuk sapaan kekerabatan sebagai sarana untuk memperkenalkan bahasa dan tatanan hidup masyarakat Bali, serta sebagai bahan di dalam pembelajaran bahasa Wijana, 199135.Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian data. Penyediaan data dilaksanakan dengan menerapkan metode cakap dan simak Sudaryanto, 2015. Data berupa kalimat yang mengandung sapaan kekerabatan diperoleh dari penutur BB sebagai sumber data primer, dan pustaka-pustaka yang memuat sapaan BB serta penulis sebagai anggota masyarakat dan penutur BB sebagai sumber data sekunder. Analisis data dilaksanakan dengan menerapkan metode agih dengan teknik bagi unsur langsung dan ganti, dan metode padan referensial Sudaryanto, 2015. Teknik bagi unsur langsung diterapkan guna membagi kalimat ke dalam beberapa konstituen guna Teknik ganti diterapkan mengingat sapaan dapat berganti satu sama lain sebagai subjek dan objek tuturan. Kedua teknik diterapkan untuk menganalisis bentuk sapaan. Kemudian, metode padan referensial diterapkan untuk menganalisis makna dan faktor disajikan menggunakan tabel dan uraian berupa kata-kata. Pada bagian akhir, ditarik simpulan dari pembahasan hasil Kerangka TeoriPelaksanaan penelitian ini memerlukan teori penelitian. Seperti yang sudah diketahui bahwa sapaan digunakan untuk menyapa seseorang yang berbeda-beda bergantung pada hubungan dengan seseorang tersebut di dalam komunikasi, sapaan memiliki fungsi untuk menyapa yang dibarengi oleh konteks Sari dkk., 2013513. Dalam realisasinya, secara lingual bentuk sapaan dapat berupa morfem, kata, ataupun frasa satuan terkecil kebahasaan dan tidak mampu dibagi kembali menjadi bagian bermakna; kata dapat berdiri sendiri dan terbentuk dari morfem dan gabungan morfem; dan frasa terbentuk dari gabungan dua kata atau lebih dan bersifat non-Chaer 2000107 menyatakan bahwa sapaan berfungsi untuk menegur dan lebih jelasnya untuk menyapa referen berupa orang kedua atau yang diajak bertutur. Dalam sapaan kekerabatan, untuk kekerabatan sendiri, Mahmud 200315 menyebut bahwa kekerabatan menyangkut hubungan sosial berdasarkan garis keturunan dan perkawinan. Tiap sapaan kekerabatan akan dipergunakan oleh pembicara untuk menyapa lawan tutur yang masih memiliki hubungan kerabat. Satuan kebahasaan yaitu bentuk sapaan memiliki referen yang diacu di luar kebahasaan atau dalam hal ini adalah kerabat Wijana 1991 menyatakan bahwa sapaan memiliki perbedaan karena dipengaruhi oleh faktor keformalan, jumlah, jenis kelamin, kekerabatan, umur, hubungan perorangan, status pernikahan, status sosial, dan latar belakang agama. 214Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018211–220 3. Hasil dan Pembahasan Pemaparan hasil analisis diuraikan ber- bentuk, makna, dan faktor sosial yang memengaruhi perbedaan sapaan Bentuk SapaanSapaan kekerabatan BB berdasarkan bentuk lingualnya hanya berupa kata. Tidak ditemukan sapaan kekerabatan berupa frasa ataupun satuan lingual lainnya. Realisasi penggunaan sapaan kekerabatan dapat memperhatikan kalimat berikut.1 Dadong? Sapaan dadong 1 merupakan salah satu realisasi sapaan kekerabatan. Pada data lainnya, sapaan dadong dipergunakan dalam bentuk lain, yaitu dong, perhatikan kalimat berikut.1 Dong! Kalimat 1 dan 2 menampilkan sapaan dadong yang dapat berupa dong. Penulis menggolongkan dadong sebagai variasi bentuk dong. Adapun realisasi bentuk sapaan kekerabatan BB secara lengkap dapat diperhatikan pada Tabel 1 1 Bentuk Sapaan KekerabatanSapaan Variasi Bentukbapa ayah’ pananang ayah’ nangaji ayah’ jikguru ayah’ rubiang ibu’ yangmeme ibu’ mekbeli kakak laki-laki’ blimbok kakak perempuan’ -adi adik’ dipekak kakek’ kakkakiang kakek’ kiangkaki kakek’ kakwayah kakek’ ayahmbah nenek’ -nini nenek’ niniang nenek’ nyangdadong nenek’ dongodah nenek’ dahkumpi buyut’ piputu cucu’ Tucening anak/cucu’ ningKolom pertama merupakan bentuk sapaan yang berupa satuan kata. Sapaan tersebut memiliki variasi bentuknya masing-masing kolom kedua. Adanya variasi bentuk tersebut terjadi karena proses fonologis dan besar variasi bentuk mengalami proses morfologis pemenggalan clipping, yaitu dengan menghilangkan silabel awal sapaan dari bentuk lengkapnya. Adapun proses ini terjadi pada sapaan dan ning. Khusus pada sapaan dengan variasi bentuknya , terdapat tambahan bunyi glotal /k opsional, variasi bentuknya dapat berupa ataupun . Akan tetapi, jika diikuti oleh bentuk nama, bunyi glotal // wajib hadir, seperti dan . Kasus serupa juga ditemukan pada sapaan meme dengan variasi bentuknya yang jika diikuti bentuk nama bentuknya wajib diikuti bunyi glotal //, mek, misalnya dan . Selanjutnya, dapat diperhatikan pula data , mengalami penghilangan silabel awal bi-, yang seharusnya menjadi *ang, tetapi bentuk tersebut tidak berterima. Di antara silabel biang terdapat bunyi pelancar berupa semivokal /y/ yang hanya terlihat jika datanya ditranskripsikan secara fonetis [biy bentuk biang berupa yang bentuk fonetisnya, dan bukannya *ang. Lebih lanjut, data wayah dengan variasi bentuknya yah, membuatnya dapat berbentuk yah atau ayah. Jika bentuk yang dipilih hal itu mengalami proses fonologis berupa perubahan bunyi, yaitu aferesis apheresis atau penghilangan segmen Selain proses morfologis di atas dan proses fonologis sebelumnya, sapaan kak mengalami proses apokope apocope atau penghilangan bunyi pada segmen akhir i geDe Bagus Wisnu Bayu temaja sapaan kekeraBatan ...215yang mengalami proses sinkope syncope atau penghilangan segmen bunyi di tengah kata sapaan bli yang mengalami penghilangan nukleus vokal /e/ pada silabel pertama. Proses sinkope juga terjadi pada sapaan niang fonetisnya, [niy [ terjadi proses merger atau penggabungan fonem, selain sinkope. Pada awalnya terjadi penghilangan vokal /i/ pada silabel pertama sehingga menjadi [niy [ny y/ menjadi lemah yang membuatnya bergabung dengan konsonan alveolar nasal /n/ sehingga menghasilkan konsonan baru, yaitu palatal nasal //, menciptakan [niy[Terdapat bentuk sapaan yang tidak memiliki variasi bentuk seperti sapaan mbok dan mbah. Hal itu disebabkan kedua sapaan hanya terdiri atas satu silabel. Syarat silabel untuk muncul ialah sedapatnya melibatkan sebuah bunyi vokal hanya mengandung satu bunyi vokal. Selain itu, konsonan /m/ dan /b/ merupakan konsonan homorgan yang berasimilasi satu sama lain, membuatnya seolah sebagai “konsonan tunggal”. Makna SapaanMakna sapaan berhubungan dengan acuan dari bentuk lingual sapaan yang ditujukan untuk referen di luar kebahasaan, yaitu orang yang termasuk kerabat. Bentuk sapaan yang dipakai dalam analisis ini adalah sapaan yang secara lingual berupa bentuk/kata penuh1. Dari analisis makna ini ditemukan sapaan kekerabatan dalam BB yang digolongkan berdasarkan garis keturunan dan garis perkawinan. Masyarakat Bali menganut sistem patrilineal sehingga kekerabatan menurut garis keturunan diperhitungkan dari pihak ayah, sedangkan garis perkawinan dari pihak sapaan kekerabatan berdasar-kan garis perkawinan dapat diperhatikan dalam penyapaan 3 dan 4 berikut. 3 Meme. Ibu, saya sekarang berangkat sekolah.’1 4 cening! Sering-seringlah belajar dan membaca buku, cucu!’Tabel 2 Referen Sapaan KekerabatanSapaan Garis Keturunan Garis Perkawinanaji, guru, bapa, nanangayah kandung, kakak laki-laki ayah paman, adik laki-laki ayah paman,ayah mertua, kakak laki-laki ibu paman, adik laki-laki ibu paman, suami dari kakak ibu paman, suami dari adik ibu paman, suamibiang, memekakak perempuan ayah bibi, adik perempuan ayah bibiibu kandung, ibu mertua, kakak perempuan ibu bibi, adik perempuan ibu bibi, istri dari kakak ibu bibi, istri dari adik ibu bibi, istribeli kakak laki-laki suami kakak kakak ipar, suami, kakak laki-laki dari suami kakak ipar, kakak laki-laki dari istri kakak iparmbok kakak perempuanistri kakak kakak ipar, kakak perempuan dari suami kakak ipar, kakak perempuan dari istri kakak iparadi - istripanggil namaadik laki-laki, adik perempuanistri adik adik ipar, suami adik adik ipar, menantu, istri, adik perempuan dari suami adik ipar, adik perempuan dari istri adik ipar, adik laki-laki dari suami adik ipar, adik laki-laki dari istri adik iparkakiang, kaki, wayah, pekakayah dari ayah kakek, kakak laki-laki kakek, adik laki-laki kakek,ayah dari ibu kakeknini, niang, mbah, odah, dadongibu dari ayah nenek, kakak perempuan kakek, adik perempuan kakek,ibu dari ibu nenekkumpi ayah dari kakek buyut, ibu dari kakek buyut- 216Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018211–220 cening, panggil namaanak -putu, cening, panggil namacucu -Sapaan kekerabatan berdasarkan garis keturunan, terutama dalam Tabel 2. Makna sapaan kekerabatan yang diacu dapat digolongkan kembali menjadi 1 sapaan yang memiliki beragam referen dan 2 sapaan yang khusus mengacu pada satu referen. Pertama, sapaan yang memiliki beragam referen, seperti ragam sapaan dan nanang, mengacu pada sapaan untuk ayah kandung dan paman adik dan kakak laki-laki ayah. Sapaan biang dan meme dipergunakan untuk menyapa kedua bibi, baik untuk adik perempuan ayah maupun kakak perempuan ayah. Kemudian, sapaan dan pekak dipakai untuk menyapa kakek ayah dari ayah dan saudara laki-laki kakek, baik adik maupun kakaknya. Untuk penyapaan nenek ibu dari ayah dan saudara perempuan kakek baik kakak maupun adiknya dipergunakan sapaan dan dadong. Lalu, sapaan kumpi mengacu pada sapaan untuk buyut laki-laki ayah dari kakek dan buyut perempuan ibu dari kakek. Sapaan cening merupakan sapaan untuk anak dan cucu. Selain sapaan itu, beberapa bentuk sapaan menggunakan sapaan berupa nama panggil nama untuk menyapa adik, anak, dan cucu. Dalam BB sapaan berdasarkan garis keturunan yang memiliki beragam acuan tidak membedakan referen yang diacu. Hal itu bergantung pada hubungan kekerabatan antara penutur dan lawan sapaan yang hanya mengacu pada satu referen khusus berdasarkan garis keturunan terdapat pada sapaan dan putu. Sapaan beli mengacu pada penyapaan untuk kakak laki-laki. Sapaan untuk kakak perempuan mempergunakan sapaan mbok. Kemudian, sapaan putu hanya mengacu pada sapaan untuk cucu selain sapaan berupa cening dan nama. Untuk sapaan putu ini berbeda dengan bentuk nama Putu yang merupakan salah satu bentuk penamaan orang Bali untuk anak kelahiran Selanjutnya, dibahas sapaan untuk menyapa kerabat berdasarkan garis perkawinan. Realisasi penggunaannya dapat memperhatikan 5 Adi nah! Istri sayang, jangan lupa menyapu di depan rumah ya!’ nanang? Mau ke mana ayah mertua?’Kekerabatan berdasarkan garis perkawinan dalam Tabel 2 juga memiliki bentuk sapaannya tersendiri meskipun terdapat beberapa kesamaan dengan sapaan garis keturunan. Sama seperti analisis makna pada garis keturunan, pembahasan makna di sini juga dipisahkan berdasarkan 1 sapaan untuk beragam referen dan 2 sapaan untuk satu referen khusus. Pertama, sapaan biang dan meme mengacu pada ragam penyapaan untuk ibu kandung, ibu mertua, dan bibi kakak dan adik perempuan ibu; bibi istri dari kakak dan adik ibu, serta untuk istri. Sapaan dan nanang merupakan sapaan untuk ayah mertua, paman, dan suami. Selanjutnya, sapaan untuk istri kakak kakak ipar dan kakak ipar, baik kakak perempuan dari suami maupun istri, mempergunakan sapaan mbok. Lalu, sapaan beli menjadi acuan untuk penyapaan suami kakak kakak ipar dan kakak ipar kakak laki-laki dari suami ataupun istri. nama panggil nama menjadi bentuk sapaan yang dipakai untuk menyapa semua adik ipar dan juga untuk istri. Secara keseluruhan, sapaan berdasarkan garis perkawinan dengan beragam referen tidak memiliki perbedaan di antara referen yang diacu sapaan yang hanya mengacu khusus untuk satu referen saja antara lain adi yang dipergunakan untuk menyapa istri. Sapaan untuk kakek diacu menggunakan dan pekak. Lalu, yang terakhir sapaan dan dadong dipergunakan untuk menyapa nenek ibu dari ibu. Mengingat pembahasan makna hanya terbatas pada acuan anggota kerabatnya, diperlukan uraian lanjutan guna mengetahui ranah penggunaan dan penyebab beragamnya referen untuk acuan tertentu. Hal tersebut dibahas pada uraian faktor sosial. i geDe Bagus Wisnu Bayu temaja sapaan kekeraBatan ... Faktor SosialAdanya perbedaan tiap sapaan kekerabatan menunjukkan kegunaan yang beragam dari tiap-tiap bentuk sapaan. Perbedaan dipengaruhi oleh faktor-faktor luar kebahasaan, yakni faktor sosial Wijana, 199135. Faktor sosial pembeda sapaan kekerabatan BB meliputi faktor keformalan, jenis kekerabatan, umur, status pernikahan, jenis kelamin, dan status sosial. Faktor ini dianalisis melalui penyapaan dan pembicaraan penutur kepada lawan tutur yang dianggap berkerabat dalam pertama, yaitu keformalan dapat dibagi menjadi ragam formal dan nonformal. Faktor ini menunjukkan bagaimana sapaan kekerabatan salah satunya sebagai penunjuk keformalan. Faktor keformalan dapat ditelusuri melalui adanya perbedaan sapaan kekerabatan dilihat dari bentuknya, yaitu antara bentuk penuh dan variasi bentuknya. Sapaan berupa kata penuh dipergunakan dalam ragam formal. Saat penutur P menyapa dan berbicara dengan lawan tutur LT pada konteks kerabat cenderung menggunakan ragam formal. Misalnya, dalam paruman rapat’ antara keluarga besar 7 berikut, seseorang P berbicara dengan ayahnya LT perihal pemugaran pura.7 Bapa . Bapak, sekarang saya ingin berbicara perihal pemugaran pura kita ini.’Penggunaan bapa 5 sebagai sapaan menunjukkan bahwa situasi pemakaiannya berada pada ranah formal, yaitu dalam suasana rapat. Selain itu, keseluruhan isi tuturannya menggunakan ragam tingkat tutur BB alus ragam tinggi yang menandakan konteksnya formal. Kendatipun hubungan antara mereka berkerabat, antara ayah dan anak, mengingat situasinya formal, bahasanya pun mengikuti ragam formal, termasuk juga penggunaan sapaan kekerabatan menggunakan kata penuh. Hal itu akan berbeda jika konteksnya berubah ke ranah nonformal, seperti saat sang anak P mengobrol santai dengan ayahnya LT di lumbung pa diabetes nyan! Kurangi sekarang makan gula pak, supaya tidak diabetes nanti!’Penggunaan sapaan pabahwa situasinya berubah menjadi informal yang ditandai dengan penggunaan BB andap ragam rendah. Hal itu menunjukkan bahwa sapaan kekerabatan berupa variasi bentuk, yaitu bentuk nonformal atau disebut juga untuk penggunaan bahasa sehari-hari . Di sisi lain, pada beberapa kasus, perlu diperhatikan bahwa terdapat sapaan yang tidak memiliki variasi bentuk yaitu mbok dan mbah. Pembedaan keformalan kedua sapaan akan sulit dilacak jika tidak dipergunakan dalam penyapaan yang dibarengi konteks, seperti situasi formal 9 dan nonformal 10 saat seseorang P berbicara dengan mbok kakak perempuan’ LT dan mbah nenek’ LT.9 Mbok, Mbah iragane. Mbok/mbah sekarang saya akan berbicara masalah pemugaran pura milik kita.’10 mbok diabetes nyan! mbah Kurangi sekarang makan gula mbok/mbah, supaya tidak diabetes nanti!’Dari konteks kedua kalimat di atas, secara keformalan sapaan mbok dan mbah dapat menjadi penunjuk bentuk formal dan informal tergantung konteks penggunaannya, yaitu tempat, situasi, dan ragam tingkat tutur yang berdasarkan jenis kekerabatan ditelusuri melalui hubungan kekerabatan antara P dan LT dalam interaksi sehingga dapat dilihat perannya sebagai penunjuk kekerabatan. bahwa hubungan kekerabatan yang terjadi yaitu antara seorang anak P dan ayahnya LT melalui penggunaan bapa dan pa oleh sang anak. Kemudian, pada tuturan 9, hubungan yang terjadi adalah antara seorang adik dan kakak perempuannya melalui sapaan mbok, serta antara seorang cucu dan neneknya melalui penggunaan sapaan mbah. Hubungan kekerabatan ini dapat diperhatikan pada referen tiap sapaan kekerabatan dalam Tabel 2 mengingat kajian ini lebih terfokus pada sapaan menurut perbedaan umur dapat membedakan bentuk sapaan yang dipergunakan 218Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018211–220 bergantung pada siapa lawan tutur kerabat yang diajak berinteraksi. Sejatinya pengaruh umur ini dapat diperhatikan pada pembahasan dalam kembali pada konteks tuturan untuk memperjelas adanya pengaruh umur. Saat seseorang P menyapa orang lebih dewasa dan tua dalam lingkup kerabat sebagai lawan tutur LT, dia dapat mempergunakan sapaan seperti pekak, dan kumpi bentuk tersebut mewakili ragamnya masing-masing, perhatikan kalimat 11 berikut. Bapa Pekak11 Meme suba madaar tengaine? Mbah sudah makan siang Kumpi harinya?’Sapaan mbok dan beli ditunjukkan bila seseorang mengalamatkan sapaan untuk mereka yang lebih tua dalam kerabat, tetapi tergolong masih muda, seperti yang ditampilkan pada tuturan 12.12 beli mani? mbok Mau pergi ke mana besok?’Kemudian, sapaan cening dan putu diberikan untuk mereka yang lebih muda di dalam hubungan kekerabatan, misalnya pada penyapaan 13 berikut.13 Cening da engsap mebakti Putu nyen! Jangan lupa sembahyang lagi sebentar!’Faktor umur menjadi penunjuk perbedaan penggunaan sapaan kekerabatan. Selain itu, terdapat sapaan khusus dalam lingkup umur yaitu sapaan adi oleh seseorang yang lebih dewasa. sudah menikah, yaitu adi ditunjukkan oleh suami kepada istrinya. Hal ini akan lebih dibicarakan pada faktor berdasarkan status kekerabatan berdasarkan status pernikahan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sapaan untuk suami dan istri. Sapaan untuk suami oleh istrinya dapat berupa , dan beli. Sapaan beli umumnya lebih lazim dipergunakan dibanding empat lainnya, mengingat ketiganya lebih berasosiasi dengan sapaan untuk ayah, sedangkan sapaan istri oleh suami dapat menggunakan sapaan berupa , dan meme. Penggunaan sapaan berdasarkan status pernikahan dapat dilihat pada kalimat 5.Faktor berdasarkan jenis kelamin dapat menjadi pembeda penggunaan sapaan kekerabatan. Jenis kelamin di sini merupakan identitas biologis yang diperoleh dari lahir. Jenis kelamin dibedakan menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Sapaan untuk kerabat berjenis kelamin laki-laki, antara lain , dan beli. Kemudian, sapaan untuk perempuan meliputi , mbok, dan adi. Selain sapaan berdasarkan dua jenis kelamin, terdapat sapaan yang dapat mengacu pada laki-laki dan perempuan bergantung pada referen yang diacu dalam penyapaan kerabat. Adapun sapaan tersebut, ialah dan bentuk nama panggil nama. Hal ini sejatinya dapat diperhatikan kembali pada tiap referen kerabat yang dibawai oleh setiap sapaan dalam Tabel terakhir yaitu status sosial yang direalisasikan dalam sistem kasta dalam masyarakat Bali. Struktur masyarakat yang heterogen, seperti di Bali ini, memengaruhi struktur dan penggunaan ini tercermin jelas dari perbedaan tiap sapaan, misalnya sapaan biang dan meme dipakai oleh kasta yang berbeda. Kasta ini terdiri atas empat macam, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kasta ini diwariskan dari zaman feodal di Bali. Kasta Brahmana merupakan mereka yang berasal dari keturunan pendeta dan pemuka agama. Kasta Ksatria adalah mereka yang berasal dari keturunan para raja, bangsawan, dan pejabat kerajaan. Kasta Waisya adalah kalangan yang berasal dari keturunan pengusaha dan pedagang. Lalu, kasta Sudra adalah kaum keturunan pekerja dan petani. Identitas kasta tiap orang secara sederhana dapat dilihat dari bentuk penamaan yang diberikan kepada masing-masing individu Temaja, 2017.Sapaan , dan nanang yang umumnya diperuntukkan untuk sapaan ayah, masing-masing dipergunakan oleh kasta yang berbeda. Sapaan umumnya dipergunakan oleh mereka yang berasal dari kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Kemudian, sapaan bapa dan nanang umumnya menjadi sapaan di kalangan orang Sudra. Lalu, sapaan guru sendiri i geDe Bagus Wisnu Bayu temaja sapaan kekeraBatan ...219tetapi secara kawitan2 dipakai oleh orang yang berasal dari kawitan Bhujangga Waisnawa tentang kawitan tidak terlalu dibicarakan dalam penelitian ini. Sapaan biang dan meme merupakan bentuk sapaan untuk ibu dipakai oleh kasta yang berbeda-beda. Sapaan biang dipakai oleh mereka yang berasal dari kasta Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Lalu, sapaan meme dipakai oleh kalangan kasta Sudra. Sapaan dan pekak, pertama, sapaan kakiang dipakai oleh kalangan Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Realisasi penggunaan sapaan kekerabatan berdasarkan kasta dapat memperhatikan sapaan seseorang kepada kakeknya di dalam keluarga Brahmana 14.14 kakiang! Ingat lagi sebentar makan pilnya kakek!’Selain itu, sapaan untuk kakek lainnya, seperti wayah, umumnya dipergunakan oleh mereka yang berasal dari kalangan Ksatria dan Waisya. Lalu, kaki dan pekak merupakan sapaan oleh mereka dalam kasta Sudra. Sapaan dan dadong adalah sapaan umum untuk nenek. Sapaan nini dipakai oleh mereka yang berasal dari kalangan Ksatria dan Waisya. adalah sapaan nenek di dalam kasta Brahmana. Ada yang mengatakan bahwa sapaan niang ini dipakai untuk mereka yang berasal dari kasta Ksatria, Waisya, dan Sudra lalu menikah dengan kalangan Brahmana. yang umumnya ditemukan pada sapaan kekerabatan di antara kalangan Ksatria, Waisya, dan Sudra. Kemudian, sapaan odah dan dadong adalah sapaan nenek di antara kalangan Sudra. Berbagai sapaan lainnya seperti dan adi adalah sapaan yang tidak memiliki batas kasta di dalam penyapaannya pada ranah perkembangan zaman, sapaan kekerabatan berdasarkan faktor kasta sifatnya sudah mencair, artinya bahwa pemaparan sapaan yang dipengaruhi kasta ini sudah tidak seluruhnya seperti pembahasan sebelumnya mengingat di zaman modern ini, kasta juga tidaklah dipandang sebagai suatu yang mutlak. Hal itu lebih pada pembentukan identitas sebagai hasil dari penggunaan bahasa Holmes, 2 adalah seperti penggunaan sapaan dengan bentuk berbeda antartiap kasta yang menunjukkan dari kasta mana seseorang berasal. Saat di luar lingkungan keluarga dan kasta, sekat pembeda kasta agak sulit untuk dibedakan. Ditemui kasus ketika seseorang memanggil ibunya dengan sapaan biang padahal yang bersangkutan termasuk kasta Sudra. Hal itu mungkin terjadi karena yang bersangkutan tinggal di lingkungan mereka yang berasal dari kasta Brahmana, Ksatria, ataupun Waisya sehingga memilih meniru menggunakan sapaan biang dalam menyapa ibu. Selain itu, ada pengaruh lain, yaitu “pengangkatan” derajat keluarga karena adanya motivasi bahwa dengan menggunakan sapaan ini berarti yang bersangkutan dipandang sebagai orang berada atau berasal dari kasta tinggi. kekerabatan berdasarkan kasta ini begitu cair dalam tatanan masyarakat Bali SimpulanDi dalam menyapa kerabat, masyarakat Bali memiliki berbagai sapaan untuk merealisasikannya, yakni tercermin dalam bentuk sapaan kekerabatan. Secara lingual, bentuk sapaan kekerabatan secara umum berbentuk kata dan masing-masing memiliki variasi bentuk sebagai hasil proses fonologis dan morfologis. Setiap makna kerabat dari sapaan dapat diacu oleh banyak bentuk lingual. Sebuah sapaan dapat menjadi acuan untuk beragam anggota kekerabatan ataupun satu sapaan untuk satu hubungan kerabat saja. Penyapaan kekerabatan digolongkan atas kekerabatan dari garis keturunan dan garis beberapa keberagaman sapaan kekerabatan disebabkan oleh beberapa faktor sosial, yang meliputi keformalan, jenis kekerabatan, umur, status pernikahan, jenis kelamin, dan status sosial. Faktor yang paling kompleks dalam sapaan kekerabatan BB adalah status sosial berupa kasta. Ketika seseorang menyapa kerabat menggunakan bentuk tertentu, orang yang menyapa dan diacu dapat dilihat identitasnya atau berasal dari kasta mana orang tersebut, tentu saja dalam konteks hubungan kekerabatan. 220Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018211–220 SaranHasil temuan ini mudah-mudahan dapat memberikan sumbangsih dalam kajian sapaan yang mengungkap bahwa faktor sosial memengaruhi perbedaan sapaan juga didasarkan atas faktor status sosial berupa PustakaAsmarajaya, I Made. 2017. “Sistem Kekerabatan Kepurusa di Bali.” Vol. Chaer, Abdul. 2000. . Jakarta Bharata Karya Aksara.An Introduction to Sociolinguistics Edisi Ketiga Essex Pearson Education Bali. 2015. “Mengetahui Makna dan Sejarah Kawitan di Bali”. Pukul I Ketut Agus Adi. 2014. “Struktur Semantik Pronomina Persona dalam Sistem Sapaan Bahasa Bali.” Vol. 21 Maret 2014.Fungsi Bahasa dan Sikap BahasaEdisi Keempat. Jakarta Gramedia Pustaka Raja. 2017. “Bentuk Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Banjar di Tembilahan, Riau. dalam Bahasa Melayu di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau.” Maret 2015. Temaja, I Gede Bagus Wisnu Bayu. 2017. “Sistem Penamaan Orang Bali.” HumanikaDesember Ridha Mashudi dan Retnaningsih, Agustin. 2015. “Dinamika Bentuk-Bentuk Sapaan sebagai HumanioraWijana, I Dewa Putu. 1991. Sastra Universitas Gadjah Mada.. ... On the island of Bali, two mother tongues are members of the Austronesian languages, namely Balinese and Balinese Malay. Balinese is a regional language in Indonesia spoken on the island of Bali Temaja, 2018dTemaja, , 2018b, parts of Lombok, and the east coast of East Java. Balinese is one of Indonesia's languages with many speakers Temaja, 2018aTemaja, , 2021. ...Ida Ayu Putu Aridawati I Gede Bagus Wisnu Bayu TemajaIda Bagus Rai PutraI Gusti Ayu ArminiThis research aimed to explore the genetic relationship between Balinese and Balinese Malay quantitatively and qualitatively. The research was conducted in three steps 1 data collection, 2 data analysis, and 3 data display. Data collection was conducted by implementing the interview method through a guided interview, recording, and note-taking techniques. The data were 200 Swadesh word lists collected from speakers of both languages as the data. Data analysis was conducted by implementing lexicostatistics and phonemic correspondence techniques. The data were displayed formally and informally, as well as in both combinations. The research results showed that both languages have a 36% genetic relationship percentage. The time between the two languages was presumed to have diverged around 2,354 – 2,157 years ago. It is estimated that both languages started to diverge from their earlier proto-language around 2,569 years ago. In addition, six phonemic correspondences of both languages consist of /ə – a /, / i – ə /, / a – ə /, / o – u /, / u – o /, and / h – r /. Concerning the levels of language classification, the genetic relationship of both languages belongs to a common language family since the results are within the percentage range 36-81% and diverged year range 500-2,500 years. Based on the genetic language typology, it can be concluded that both languages belong to Austronesian languages. Specifically, they belong to the subfamily Malayo-Sumbawan Putu Ayu Kartika DewiI Wayan SubakerThe aim of this article is to find the mapping of Balinese address terms and its translation into English in a Folktale entitled I Juragan Anom. The mapping is used to categories and make clear the major conceptual of the address term are used in folktale I Juragan Anom. Based on the simple analysis, the mapping of Balinese address terms can be categories into three, there are 1 Balinese address term sub-type indicating honorific caste system; 2 Balinese address term sub-type personal name system; and 3 Balinese address term sub-type DiyantiThis article aims to analyze the types of kinship greeting words in Kerinci language and social factors that influence the types of kinship greeting words in Kerinci language in Gunung Raya sub-district, Kerinci district. This research uses a qualitative approach with descriptive methods. The research data is the kinship greeting words in Kerinci language in Gunung Raya sub-district, Kerinci district. The research data comes from informants as native speakers of Kerinci language who live in Gunung Raya result of this study is the community kinship system of Gunung Raya sub-district based on matrilineal lineage, someone will follow the lineage of mother. The male becomes a kindred based on the marriage line. The kinship greeting words in Kerinci language in Gunung Raya sub-district based on the lineage consist of 25 greeting words, while the kinship greeting words in the Kerinci language in Gunung Raya sub-district based on the marriage line consist of 29 greeting words. Social factors that influence the form of kinship greeting words in Kerinci language in Gunung Raya sub-district are social distance, age, gender, social status, physical characteristics, and language contact. Keyword greeting words; Kerinci language; kinship; Gunung Raya sub-district I Gede Bagus Wisnu Bayu TemajaPenelitian ini bertujuan untuk memaparkan aspek-aspek yang mempengaruhi sistem penamaan orang Bali. Dari beberapa penelitian terkait yang sebelumnya sudah dilaksanakan, fokus penelitian ini lebih kepada deskripsi sistem penamaan orang Bali secara umum. Penelitian ini merupakan kajian linguistik antropologi yang menitikberatkan pada hubungan aspek-aspek lingual dalam penamaan berkaitan dengan hubungannya secara kultural di dalam masyarakat Bali. Metodologi penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 1 penyediaan data dengan menerapkan metode cakap dengan teknik rekam dan catat, serta metode studi pustaka; 2 analisis data melalui penerapan pendekatan kualitatif model interaktif; dan 3 penyajian data yaitu dengan memaparkan data secara informal, dan menggunakan tabel. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga aspek yang mempengaruhi sistem penamaan orang Bali, yaitu 1 jenis kelamin, 2 urutan kelahiran, dan 3 sistem kasta. Aspek tersebut memberikan gambaran tentang acuan penamaan orang Bali. Hasil dari penelitian ini mencerminkan aspek lingual sistem penamaan yang dipengaruhi aspek budaya sehingga merepresentasikan budaya Bali itu SalehPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk sapaan kekerabatan yang digunakan dalam bahasa Banjar di Tembilahan, Riau. Metode yang dugunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalaui teknik wawancara dan catat. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode padan, dengan langkah-langkah mengklasifikasikan data menurut jenisnya, mendeskripsikan masing-masing sapaan, dan pemberian contoh sapaan pemadanan dalam kalimat. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk kata sapaan berdasarkan garis keturunan adalah abah, uwak laki, uwak bini, nanang, acik, abang, kakak, ading, anak, cucu, nenek laki, dan datuk. Sedangkan bentuk kata sapaan kekerabatan berdasarkan garis perkawinan adalah umak, abah mintuhak, umak mintuhak, nenek bini, nenek laki, nanang, acik, ulak, uwak, mantu, bini, laki, kakak ipar, abang ipar, dan ading ipar. Penelitian ini menyimpulkan ada dua bentuk sapaan kekerabatan dalam bahasa Banjar di Tembilahan, Riau, yaitu bentuk kata sapaan kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan bentuk kata sapaan kekerabatan berdasarkan garis Kekerabatan Kepurusa di BaliI AsmarajayaMadeAsmarajaya, I Made. 2017. "Sistem Kekerabatan Kepurusa di Bali." Jurnal Advokasi FH Unmas Vol. 7 No. 1 September Makna dan Sejarah Kawitan di BaliInput BaliInput Bali. 2015. "Mengetahui Makna dan Sejarah Kawitan di Bali". diunduh pada tanggal 10 Mei 2018, Pukul Semantik Pronomina Persona dalam Sistem Sapaan Bahasa BaliI Ketut Agus KamajayaAdiKamajaya, I Ketut Agus Adi. 2014. "Struktur Semantik Pronomina Persona dalam Sistem Sapaan Bahasa Bali." Linguistika Vol. 21 Maret Bahasa dan Sikap BahasaHarimurti KridalaksanaKridalaksana, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Jakarta Nusa Linguistik Edisi Keempat. Jakarta Gramedia Pustaka UtamaHarimurti KridalaksanaKridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta Gramedia Pustaka Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi RiauSariNikaDan ErmantoMuhammad NasutionIsmailSari, Nika, Ermanto, dan Nasution, Muhammad Ismail. 2013. "Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau." Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 1 No. 2 Maret dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara LinguistisSudaryantoSudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta Sanata Dharma University Press. Karenaitu, warga Bali Aga di keempat desa ini rata-rata tidak memiliki kawitan atau pura leluhur di Besakih, namun di tepi Tamblingan.Salah satu tradisi yang dijalankan oleh warga keempat desa ini adalah tradisi magangsing (bermain gangsing). Dahulu, permainan gangsing ini hanya dimainkan oleh para petani kopi seusai panen. When I set out to write about Balinese given names I thought I would just have to explain the four most common names that locals seem to use everywhere. But the Balinese Naming system is somewhat more complex than most common names are Wayan, Made, Nyoman, and Ketut but that is not the complete list. There are alternatives to these names. Nor do Balinese have distinct family names used by all members of the same family. However the Balinese naming system has an order that helps you identify people in different families and social Balinese naming system is used by up to 90% of the Balinese population in Bali and the adjacent islands of Lembongan, Ceningan and Penides. together with western parts of system is thought to have been followed by all Balinese until the Majapahits invaded from Java in the Fourteenth Century and brought the Hindu caste system, Catur Warna, with Balinese people were then considered to be part of the lowest Hindu caste, known as the Sudra while the Majapahits considered themselves to be in the “higher†Hindu castes the Triwarna meaning 3 colours namely Wasya, Ksatria and Brahmana. Before that the Balinese, had no caste system, even though they were Sudra caste system then incorporated the Balinese naming system while the higher classes had separate naming systems that are described further on in this people in the Sudra caste name their children depending on the order they are born as seen below, the same names apply to both males and born names Wayan, Putu traditionally for higher caste families, Gede, Ni Luh female onlySecond born names Made, Kadek, NengahThird born names Nyoman, Komang, or NgNga in very rural areasFourth born names Ketut – no other names. The name means little banana, the last banana in the bunch, thought to be derived from times when advisable family size was 3 childrenIf a family has more than four children, the cycle repeats itself, and the next ‘Wayan’ may be called Wayan Balik, which loosely translates to ‘another Wayan’.Family names are not really used in Bali, but it is common that a personal name is added. Giving children their names is very important because it is believed that naming a child can affect a child's life. Often the name is symbolic or carries a special meaning. In Bali, after a baby is 12 days old, a special name-giving ceremony is held called ‘ngerorasin’ . There are several factors considered in name giving, including the child’s sex, caste, clan, birth order and the parents’ choice. Additional "Given" names may be chosen due, for a variety of reasons including influence of popular culture or politics. These names may be a second or third Hindu name that is personal to the child usually with a positive meaning. An example could be Dewi goddess. Sometimes Balinese people use this Hindu name or shorten it to create a nickname. For example, Nuri might be short for when people introduce each other, they usually do not use their personal names, and simply call themselves Wayan, Ketut, etc. TriwarnaThe Triwarna, the three higher castes, Brahmana, Ksatria and Wasya use caste identifiers as the first part of a it is widely acknowledged that the caste system is no longer very important as it was in the past caste members are given names and titles which denote caste and position within a complex and patrilineal hierarchy. How they are named lets others know about the position/hierarchy of the other person. These days Balinese understand the meaning and even though, the caste system is no longer active, they do sometimes communicate, act and react differently based on the information they have extracted from the name of is a caste of merchants, administration officials, soldiers and people might be named as Gusti, Dewa or DesakMore commonly a Wasya man tends to be called Gusti Bagus followed by a personal name and a Wasya woman Gusti Ayu followed by a personal name. Gusti literally means "leader" as members of this caste were often families promoted from the Sudra caste. They often use positional names for the birth order of their children. Sometimes they borrow the whole order of the Sudra caste names, so it is possible to find a name like I Gusti Ketut Rajendra, male of the Wesya caste, fourth born, whose personal name is the past Wasya caste people would add Ngakan, Kompyang, Sang, or Si in front of their name,though nowadays most Wesya descendants do not use these names much is a caste of nobles, kings and warriors casteKsatria are the aristocracy. All of Bali’s kings are names will often begin with the names below and be followed by other given names as diescribed Agung male, Anak Agung Ayu or Anak Agung Istri femaleThe word Agung means "great", or "prominent".I Gusti Ngurah male, I Gusti Ayu femaleTjokorda, sometimes abbreviated as Tjok male, Tjokorda Istri female The word Tjokord literally means "the foot of the Gods", and is awarded to the highest members of the I Dewa, Dewa Agung, I Dewa male, Ni Dewa Ayu, Desak femaleBrahmana the highest caste that includes teachers, priests, judges, writers and philosophersThis Hindu priestly caste is not to be confused with native Hindu priests that have been in Bali before the Majapahits invaded. These native priests are actually from the Sudra caste and still look after the temples, bless Gamelan players before concerts, make and provide holy water caste officiate at larger ceremonies and festivals and have the titles Ida Bagus for a man and Ida Ayu for a woman, and a given personal name. Brahmin people often shorten these names, for example the businesswoman Ida Ayu Ramayanti is usually known as “Dayu Ramaâ€When using their full names, Balinese people also add a prefix to indicate gender. ‘I’ is for men and ‘Ni’ is for women, so I Wayan Darma Putra would be a first-born man of the Sudra caste, while Ni Anak Agung Rai would be a woman of the Ksatria short for “Bapakâ€, father and Bu short for “Ibuâ€, mother are honorifics you would use as a form of respect with people older than you, or officials or people you don't know well. You could use “Kakak†with someone of a similar age to yourself. It literally means older brother or who change their casteIt is not unusual for someone in Bali to “change†caste, usually by marrying someone of a higher caste. A name often used by Sudra women who marry Wasya men is “Ibu Jeroâ€. If a lady introduces herself as Ibu Jero she has literally changed her name to indicate she has been “admitted†jero to another Pande – people outside the caste Balinese clan that is outside the caste system is the Pande. . They claim descent from a single famous armourer that came to Bali with the Majapahit invaders. They enjoy certain privileges, such as a temple at the Besakih Mother Temple complex that they regard as equal in status to the Brahman temple. Some Pande still use the name Pande before their birth order name that identifies them as members of the Pande Balinese use “Western namesâ€, although they are rarely given to them at birth. Nicknames in Bali can be based on anything including physical attributes such as Made Gemuk fat Wayan, character traits like Ketut Santi peaceful Ketut, or something for no particular reason such as Wayan John .caste balinesename balineseculture castesystem bali
Namunada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana. pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan) Kemulan rong 3: Linggih Hyang Guru Kemulan / Tri Murti / Leluhur: Sanghyang TrimurtiKata Kawitan ini berasal dari bahasa sansekerta yaitu Wit yang artinya asal mula. Asal-usul manusia adalah Leluhur. Jadi, sesungguhnya setiap orang punya kawitan. Dan Kawitan merupakan pengingat asal atau ada pula yang mendefinisikan kawitan merupakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali. Dasar pemujaan Kawitan didasari oleh Atma Tattwa dan Purnabhawa. Yaitu, roh leluhur akan menjelma kembali menjadi manusia, bisa jadi anak-cucu kita, dalam kaitan ini pemujaan Kawitan adalah bagian dari Bhakti Marga, mewujudkan kasih sayang kepada leluhur dan keturunan kita. Ada juga yang mengartikan pemujaan Kawitan juga dapat didasari oleh Moksa, karena dalam upaya mensucikan roh leluhur, salah satu caranya dengan menyembah roh leluhur, mendoakan tercapainya Amoring Acintya. Di luar Pulau Bali kawitan itu ada tetapi tidak secara visual dalam bentuk merajan. Nah, konsep merajan kawitan ada mulai abad ke-11 yang diterapkan oleh Ida Mpu Kuturan di Bali sebagai benteng, karena bercermin dari pengalaman sejarah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa. Di Pulau Jawa kawitan tidak sedetail seperti di Bali, yang ada adalah dalam bentuk candi pemujaan kerajaan leluhur dan sebagainya yang lebih bersifat umum, yang ikatanya tidak sekuat konsep kawitan di Bali. Mengenai konsep adanya banyak kawitan, ini bersumber dari kondisi sosial dan kedudukan leluhur kita di masyarakat pada jaman dahulu. Contoh, misalnya leluhur kita dahulu pernah menjadi raja, maka keturunannya akan memakai nama kawitan tersebut. Dan begitu pula jika seandainya leluhur kita dulu menjadi wiku, maka keturunannya akan memakai mana kawitan tersebut. Sebab, hal ini bertujuan untuk mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya kita punya kawitan para leluhur yang luar biasa, yang sakti, bijaksana, dharma dan berwibawa. Sehingga bisa kita jadikan pedoman dan panutan kedalam diri sendiri. Pura Kawitan merupakan tempat pemujaan roh suci leluhur dari umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis keturunannya. Maka dari itu Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis keturunannya. Berbagai contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan antara lain Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya. Pasti semeton pernah mungkin sering merasa tidak tenang, tentram atau sakit-sakitan. Nah, itu mungkin bisa jadi kemungkinan karena melupakan kawitan / leluhur. Bukan berarti leluhur menyakiti / membuat tidak merasa nyaman, akan tetapi agar kita tidak melupakan para leluhur dan selalu berbhakti kepada leluhur. Sebab itu merupakan salah satu penerapan dari pelaksaan Panca Srada. Dalam pengertian Panca Sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu. Percaya dengan adanya Brahman percaya akan adanya Sang Hyang Widhi Percaya dengan adanya atman percaya akan adanya Sang Hyang Atman Percaya dengan adanya karmaphala percaya akan adanya hukum karma phala Percaya dengan adanya punarbhawa percaya akan adanya kelahiran kembali Percaya dengan adanya moksa kepercayaan akan terjadinya persatuan Atman dengan Brahman bila Atman sudah suci Jika ada semeton yang masih dalam Pencarian Keyakinan Diri atau Pencarian Apakah Kawitannya, hendaknya sering-seringlah sembahyang dan Meditasi. Dan memohon petunjuk kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam keteguhan hati yang kuat serta kesabaran. Berharap sepenuh hati, dan niscaya akan diberikan jalan yang benar menuju ke Kawitan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk semeton. Seandainya ada makna dan sejarah yang kurang lengkap atau kurang tepat. Silakan dikoreksi. Matur suksma…. Mencermatirealitas sejarah atas kiprah Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa selama 9 (sembilan) tahun di Bali. Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum.
Tulisan ini dikutip secara murni dari artikel/tulisan Bhagawan Dwija Mohon izin Bhagawan semata-mata demi pencerahan umat yang masih diliputi awidya. “Soroh” bisa diterjemahkan sebagai group of related families atau disingkat klan, yakni paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu yang di Bali disebut sebagai “tunggal Kawitan”. Definisi Kawitan beragam, ada yang mengatakan leluhur yang pertama kali datang di Bali atau lahir di Bali, tetapi ada pendapat kedua yang lebih moderat menyatakan bahwa Kawitan berakar dari kata wit artinya asal mula, sehingga Kawitan manusia adalah Brahman atau Hyang Widhi. Pendapat kedua ini dikesampingkan sehingga pengertian yang pertama menjadi lebih populer di masyarakat Hindu etnis Bali, walaupun dalam aplikasinya tidak konsisten. Misalnya Sri Kesari Warmadewa dari Muangthai yang mula pertama datang di Bali tahun 913 M mempunyai keturunan bernama Airlangga. Selanjutnya beliau mengembangkan keturunan yang banyak antara lain Sirarya Kepakisan. Kini di Bali tidak ada yang mengaku atau menyebut Kawitannya Kesari Warmadewa atau Kawitan Airlangga, tetapi ada Kawitan Arya Kepakisan. Demikian pula selanjutnya, Arya Kepakisan yang mengembangkan banyak keturunan antara lain I Gusti Palengan diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Peladung” dan cicitnya yang bernama I Gusti Penyarikan Dauh Bale Agung diakui sebagai Kawitan oleh soroh “Arya Dauh”. Contoh lain yakni nama bhiseka Ida Dalem Sri Kresna Kepakisan yang datang di Bali tahun 1350 M tidak digunakan sebagai nama Kawitan oleh keturunan beliau, yang kini memilih menggunakan nama putra-putra beliau sebagai Kawitan, antara lain Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, dan Dalem Sagening. Demikian banyaknya ragam versi Kawitan sehingga di Bali dewasa ini ada puluhan nama-nama soroh. Soroh dalam lingkup kecil disebut Dadia yang biasanya mempunyai Sanggah Pamerajan khusus. Dadia bertujuan mempererat tali persaudaraan atau pasemetonan, selain untuk kepentingan ritual dalam aspek pemujaan leluhur. Dalam lingkup yang lebih besar misalnya kesukuan Bali, soroh sering menimbulkan perpecahan bila warga soroh satu dengan yang lainnya tidak saling menghargai dan menghormati. Lebih-lebih bila sejarah leluhur di masa silam diungkit-ungkit kembali dengan fanatisme berlebihan sehingga timbul semacam “kelas-kelas” di mana masing-masing menganggap kelasnya lebih tinggi dari yang lain. Yang merasa kelasnya lebih tinggi, memandang soroh yang lain sebagai parekan atau hambanya, padahal mungkin dahulu leluhur-leluhur mereka bersaudara kandung. Fanatisme soroh sering pula menimbulkan perseteruan bahkan permusuhan. Suatu ketika di sebuah Desa di Buleleng ada kelompok soroh yang disebut Dadia “X”. Entah apa sebabnya beberapa kepala keluarga tiba-tiba menyatakan bahwa kawitan mereka bukan “X” tetapi “Y”. Dadia yang terdiri dari puluhan kepala keluarga itupun pecah. Ada yang tetap bertahan sebagai kawitan X dan ada yang ikut kawitan baru Y. Perseteruan tidak dapat diselesaikan bertahun-tahun. Akhirnya diadakan musyawarah dan Sanggah Pamerajan-pun dibagi-bagi dengan pembatas tembok. Masing-masing lalu membangun kembali Sanggah baru. Hubungan kekeluargaan yang terjalin bertahun-tahun putus, tidak mengaku bersaudara, tidak mesidi-kara tidak saling menyembah atau tidak turut terkena cuntaka kendatipun ayah dan ibu kandung mereka sama. Ceritra “lucu” masih banyak. Ada beberapa keluarga dari Dadia “A” karena merasa nasib/ kehidupannya semakin buruk pergi ke balian dukun bertanya di niskala alam tidak nyata kenapa gerangan mereka ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Si dukun merem-melek menyatakan dirinya kerawuhan intrance roh leluhur mereka seraya dengan sedih menasihati cucu-cicitnya bahwa Kawitan mereka bukan soroh “A” tetapi soroh “B”. Tercengang dan berbesar hati, mereka mengajak saudara-saudaranya yang lain untuk percaya pada wejangan leluhur melalui si dukun. Tidak semuanya setuju, sehingga Dadia itu pecah. Dalam kasus ini Sanggah Pamerajan tidak dibagi-bagi, tetap utuh namun “aneh” karena mempunyai dua hari piodalan yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok, yaitu piodalan Bhatara Kawitan A di hari Anggara Prangbakat , dan piodalan Bhatara Kawitan B di hari Buda Wage Klawu. Kawitan A dan B yang dihaturi piodalan distanakan di pelinggih yang sama, yaitu meru tumpang tiga. Masih ada lagi ceritra yang lebih lucu. Ceritra awalnya sama seperti kasus di atas, di mana dua saudara kandung masing-masing memilih kawitan yang berbeda. Si kakak ingin melaksanakan upacara Pitra Yadnya bagi ayahnya yang sudah lama meninggal dunia. Tentu saja ia menggunakan tata-cara menurut keyakinan kawitannya, sebut saja kawitan “C”. Beberapa bulan kemudian si adik ingin pula menunaikan kewajiban bhakti pada ayahnya lalu melaksanakan upacara Pitra Yadnya menurut keyakinan kawitan lain, sebut saja “D”. Nah bagaimana mungkin satu arwah di-aben dua kali dan dengan tata-laksana atribut soroh yang berbeda pula? Kesibukan orang-orang Bali mencari identitas soroh terlihat sejak tahun 1960, menjelang upacara Eka Dasa Rudra yang diselenggarakan di Pura Besakih tahun 1963. Pemerintah Daerah Bali mengumumkan kepada rakyat agar mengadakan upacara Pitra Yadnya bagi leluhur mereka sehingga menjelang Eka Dasa Rudra kuburan-kuburan bersih dari dengkot mayat yang ditanam. Kebersihan kuburan ini perlu untuk menjaga kesucian jagad Bali. Ketika itu banyak orang yang tidak tahu apa soroh-nya, terutama umat Hindu di Buleleng, karena dahulu di kala leluhurnya bermigrasi dari Bali Selatan sengaja menghilangkan identitas soroh mereka dengan berbagai alasan, antara lain keselamatan jiwa dari ancaman hukuman raja. Untuk upacara Pitra Yadnya ngaben identitas soroh sangat perlu, karena salah satu sarana upacara yang bernama kajang memang berbeda bagi setiap soroh. Mereka yang kemudian menemukan sorohnya melalui jasa dukun saling berhubungan dengan orang yang se-soroh untuk membentuk paguyuban. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi wadah yang efektif untuk membina kerukunan dan menjalinan semangat kekeluargaan. Beberapa soroh tertentu ada yang mendirikan yayasan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan warganya. Ada pula yang mengusahakan upacara diksa bagi warganya yang mampu menjadi sulinggih pendeta, sehingga sejak masa itulah adanya gelar-gelar sulinggih selain Pedanda. Ada tokoh politik yang “jeli” melihat potensi paguyuban soroh yang mempunyai massa banyak, kemudian memanfaatkan soroh untuk jalur kampanye. Media-pun ramai dengan berita menjelang Pilkada di Bali, karena organisasi diselewengkan dari azas pendirian semula. Memang benar, paguyuban soroh mestinya jangan dicampuri permainan politik, karena jika demikian rakyat Bali akan semakin terpecah-belah dengan berbagai dampak negatif. Lebih jauh lagi hendaknya fanatisme soroh tidak perlu dikembangkan, karena dapat mengarahkan umat Hindu jauh dari tujuan agama yang utama yakni membina kasih sayang pada sesama mahluk ciptaan Hyang Widhi.
C4KO.