WAKAF Dalil-dalil di Al-Qur'an tentang wakaf, terdapat antara lain di surah Al-Baqarah, Ali-Imran, dan surah Al- Hajj.
SyaikhAbdullah bin Jibrin rahimahullah berkata, "Aplikasi wakaf uang untuk pinjaman (qard) adalah, satu orang atau lebih menyumbang sejumlah uang dan uang itu disimpan pada Bank Islami atau pada seseorang yang amanah, uang itu dijadikan sebagai wakaf umum atau wakaf khusus bagi orang yang memerlukan pinjaman, seperti untuk kabilah pewakaf saja, keluarganya atau masyarakat di negerinya. Pertanyaan Kalau seseorang berniat mewakafkan sebagian bangunan yang dimilikinya. Apakah dibolehkan orang yang mewakafkan itu menyewakan bangunan dan mengalirkan dana persewaan untuk orang yang membutuhkan? Apakah pemasukan dari sewa bagunan itu halal Jika orang yang wakaf tidak mampu memonitor keluarga yang tinggal di bangunan itu? Teks Jawaban Wakaf tidak sah hanya sekedar niat sampai dia berbicara atau melakukan sesuatu yanag menunjukkan hal itu. Dalam kitan Ar-Roudul Al-Murbi’ 5/531 dikatakan, “Wakaf sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan hal itu secara adat.” Beliau juga berkatan 6/7, “Yang Nampak dalam mazhab Ahmad, bahwa wakaf diperoleh dengan perbuatan disertai tanda-tanda yang menunjukkan akan hal itu. Seperti membangun masjid dan orang dibolehkan shalat di dalamnya atau kuburan dan mengizinkan mengubur di dalamnya. Atau tempat minum, dan mengizinkan orang masuk ke dalamnya. Adat kebiasan telah berjalan seperti itu. Sesuatu yang di dalamnya menunjukkan wakaf, maka dibolehkan menetapkan wakaf dengan ucapan. Sebagaimana telah menjadi kebiasaan orang yang menyuguhkan makanan untuk tamunya, maka hal itu termasuk memberi izin untuk memakannya.” Kedua Sah menyewakan wakaf dan diurus oleh orang yang wakaf atau petugas nazir wakaf. Nawawi rahimahulla dalam Ar-Raudhoh, 5/351 mengatakan, “Untuk orang yang wakaf dan orang orang yang diberi kuasa oleh orang yang berwakaf dibolehkan menyewakan wakaf.” Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam As-Syarh Al-Mumti’, 10/40, “Seseorang mewakafkan rumahnya. Dia mengatakan, “Ini wakaf untuk orang-orang fakir. Maka rumah tetap menjadi wakaf tidak boleh dijual. Sewa dan tempat tinggalnya untuk orang-orang fakir. Yang lain mengatakan, “Rumah ini wakaf untuk anak-anakku. Maka anak-anaknya sekarang tidak dapat menjualnya. Karena ia adalah wakaf. Akan tetapi dia dapat memanfaatkannya dengan menempati atau menyewakan atau semisal itu. Sehingga wakaf dibolehkan untuk disewakannya.” Penanya berkata, ”Apakah orang yang wakaf dapat menyewakan gedung dan memberikan dana sewa kepada orang-orang yang membutuhkan?” Jawabannya adalah ya, kalau dia mewakafkan rumah untuk orang yang membutuhkan, maka dia dibolehkan melakukan hal itu. Dan dibagikan dana sewa kepada orang-orang yang membutuhkannya. Atau menjadikan rumah sebagai tempat tinggal bagi sebagian orang yang membutuhkan. Sementara perkataan pena apakah pemasukan dari sewa rumah termasuk halal Jika orang yang wakaf tidak mampu memonitor keluarga orang yang tinggal di rumah? Maka jawabanya adalah kalau rumah disewakan untuk digunakan kemaksiatan kepada Allah seperti digunakan untuk club judi atau untuk menyimpan minuman keras atau menjualnya maka tidak dibolehkan. Karena hal itu membantu bermaksiat kepada Allah. Kalau disewakan untuk digunakan sesuatu yang mubah seperti sewa untuk tempat tinggal, maka hal itu dibolehkan. Kalau kemudian orang yang menyewa digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, maka dosanya dibebankan kepadanya. Orang yang wakaf tidak diharuskan memonitor atau mencari-cari kesalahan penghuni rumah untuk mengetahui apakah dia terjerumus kemaksiatan atau tidak? Bahkan dia tidak dibolehkan malakukan hal itu. Silahkan untuk menambah faedah pada jawaban soal no 131001 silahkan melihat juga jawaban soal 13720, 10374 wallahu a’lam. Bagiorang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia adalah orang yang ahli berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara suka rela, tidak karena terpaksa. [2] Seperti juga disyaratkan bagi penjual dan pembeli, maka yang dimaksud dengan "ahli berbuat baik" di sini ialah orang yang berakal (tidak gila atau bodoh), tidak mubazir (karena harta Ilustrasi harta seimbang. Foto ShutterstockOrang yang mewakafkan hartanya disebut wakif. Hukum dan ketentuannya diatur dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang buku Panduan Wakaf, Hibah, dan Wasiat Menurut Alquran dan Sunnah, secara bahasa, kata wakaf berarti menahan. Sedangkan secara istilah, wakaf adalah tahbiisul ashl wa tasbillul manfaah, yaitu menahan suatu barang dan memberikan merupakan salah satu bentuk sedekah dengan harta. Nilai pahalanya sama dengan amal jariyah yang tidak akan terputus sampai pelakunya meninggal dunia. Pahala ini akan terus mengalir seiring dimanfaatkannya benda yang soal wakif, ternyata ada syarat dan ketentuannya dalam Islam. Seperti apa? Untuk mengetahuinya, simak penjelasan berikut. Kedudukan dan Syarat Wakif dalam IslamWakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Pihak ini bisa meliputi perorangan, organisasi, ataupun badan hukum warga negara Indonesia dan warga negara mengajarkan anak nilai mata uang. Foto Shutter StockSetiap wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil. Artinya, mereka telah dewasa baligh, berakal sehat, tidak di bawah pengampuan dan tidak dalam keadaan buku Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf oleh Elsi Kartika, dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, terdapat sejumlah syarat pihak wakif yang meliputiPerseorangan adalah apabiła memenuhi persyaratan dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf;Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan;Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang dalam buku Hukum Perwakafan di Indonesia karya Hujriman, syarat pihak wakif dapat dikelompokkan berdasarkan pendapat empat Imam Mazhab, yaitu sebagai berikut"Wakif hendaknya orang yang cakap bertabarru', yaitu orang yang merdeka, dewasa dan berakal. Oleh karena itu, wakaf anak kecil baik mumayyiz atau tidak, orang gila dan orang yang odiot, batal tidak sah wakafnya, karena tidak cakap bertabarru"."Waqif disyaratkan orang dewasa, berakal, rela, sehat, tidak berada di bawah pengampunan dan sebagai pemilik harta yang diwakafkannya"."Waqif hendaknya orang yang cakap bertabarru', maka dari itu tidak sah wakaf anak kecil, orang gila, orang bodoh/boros dan budak mukatab"."Pertama pemilik harta. Maka dari itu tidak sah wakaf orang yang mewakafkan hak milik orang lain, tanpa seizin pemiliknya. Kedua orang yang diperbolehkan membelanjakan hartanya. Oleh karena itu, tidak sah wakaf orang yang berada di bawah pengampunan dan orang gila.”Apa itu wakif?Apa saja syarat untuk wakif perorangan?Bagaimana syarat untuk wakif organisasi? Obyekwakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara utuh dan dimiliki secara sah oleh pihak yang akan melakukan wakaf (wakif). Obyek wakaf benda tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah , hak milik atas rumah , atau hak milik atas rumah susun . OLEH UMAR MUKHTAR Wakaf merupakan salah satu cara bagi seorang Muslim untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT secara terus-menerus dan tidak akan putus meski orang yang berwakaf waqif telah meninggal dunia. Lantas, bagaimana jika orang yang berwakaf itu non-Muslim? Apakah tetap sah dan Muslim boleh menerimanya? Ulama fikih dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama LBM-PBNU KH Mahbub Ma'afi Ramdlan menjelaskan, pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara para fuqaha terkait kebolehan dan keabsahan wakaf non-Muslim kepada Muslim. Namun, dengan catatan, sesuatu yang diwakafkan itu memang layak untuk dimiliki Muslim. "Misalnya, kalau ada wakaf dari perusahaan minuman keras itu jelas tidak boleh karena itu dilarang bagi Muslim. Jadi, sepanjang orang Muslim itu bisa memilikinya, wakaf itu sah. Mengapa? Karena para ulama sepakat bahwa Islam itu bukan merupakan syarat bagi sahnya wakaf," katanya kepada Republika, Senin 8/3. Wakil Sekretaris LBM-PBNU itu menjelaskan, wakaf berorientasi pada manfaat dari harta benda yang diwakafkan. Pemanfaatan itu terfokus hanya pada kebaikan semata untuk mendekatkan diri kepada Allah. "Konsekuensinya, zat harta benda wakaf itu sendiri tidak bisa di-tasharruf-kan karena dalam wakaf yang di-tasharruf-kan adalah manfaatnya sehingga harta bendanya masih tetap utuh," ujar dia. Kiai Mahbub menyampaikan, wakaf itu selalu mengandaikan adanya pihak yang mewakafkan dan harta benda yang diwakafkan. Dalam konteks ada non-Muslim yang mau memberikan tanahnya kepada orang Muslim untuk dibuat sebagai tempat ibadah, Mazhab Syafi'i memperbolehkannya. Mazhab tersebut memperbolehkan non-Muslim berwakaf untuk Muslim karena Islamnya wakif tidak termasuk dalam rukun wakaf. Ada empat rukun wakaf, yaitu harta benda yang diwakafkan mawquf, pihak penerima wakaf mauquf 'alaih, pernyataan tentang wakaf shigah, dan pihak pemberi wakaf waqif. Kiai Mahbub memaparkan, persyaratan terkait pemberi wakaf tidak menyebutkan bahwa yang bersangkutan haruslah seorang Muslim. "Menurut ulama dari kalangan Mazhab Syafi'i, sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab Fathul Wahhab bahwa syarat pemberi wakaf adalah pihak yang nyata-nyata tidak dalam tekanan atau al-mukhtar," katanya memaparkan. Artinya, Kiai Mahbub menerangkan, pemberi wakaf atau wakif adalah pihak yang dengan sukarela memberikan harta-bendanya untuk diwakafkan dan memiliki kecakapan dalam berbuat kebajikan ahlu tabarru'. Karena itu, dia menyatakan, wakaf yang berasal dari non-Muslim itu sah karena tidak ada persyaratan wakif harus Muslim. Mengutip pendapat Syekh Zakariya al-Anshari dalam Fathul Wahhab bi Syarhi Manhajith Thullab, Kiai Mahbub juga menyampaikan, wakaf dari non-Muslim itu tetap sah sekalipun ditujukan untuk pembangunan masjid. Pihak pemberi wakaf yang disyaratkan adalah orang yang sukarela memberikannya dan ahlu tabarru' atau orang yang cakap dalam kebajikan. "Pandangan ini tampak jelas melihat dari sisi tujuan fundamental wakaf itu sendiri, yaitu dalam rangka taqarrub. Taqarrub di sini mesti dilihat dari kacamata Islam. Karena itu, tidak dianggap penting apakah wakaf dianggap sebagai ibadah atau tidak menurut keyakinan pihak yang mewakafkan," ujarnya. Kiai Mahbub menekankan, sepanjang wakaf tersebut memiliki nilai ibadah dalam pandangan Islam, wakaf dari non-Muslim itu dapat dibenarkan. KeharusanLegalitas Wakaf. May 31, 2017. 1936. oleh: Jamal Ma'mur Asmani. WAKAF menjadi sah jika memenuhi dua aspek sekaligus, yaitu aspek agama (fikih) dan undang-undang (UU No 41/2004 tentang Wakaf dan PPNo 42/2006 tentang Pelaksanaan UU No 41/ 2004 tentang Wakaf). Banyak problem di masyarakat, khususnya konflik tanah yang disebabkan tidak Menurut Al-Quran Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain “Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” al-Baqarah 2 267 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” Ali Imran 3 92 “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” al-Baqarah 2 261 Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. Menurut Hadis Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.” Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah wakaf, ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat ijma’ menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang. Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.Ataudinyatakan berlakunya hukum wakaf itu berhubungkan dengan masa yang akan datang, seperti pernyataan seseorang : " saya wakafkan tanah milik saya yang ada di negeri A tinggal satu bulan yang akan datang". Wakaf yang demikian diragukan kesahannya, karena manusia tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi terhadap dirinya pada waktu